wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t
Bookmark

Seri Buku Tempo: Gie dan Surat-surat yang Tersembunyi

Book Resume
Seri Buku Tempo: Gie dan Surat-surat yang Tersembunyi

Oleh: Timothy P. Saragi

Sampul Depan Gie
Sampul Depan
Katalog Dalam Terbitan & Daftar Isi I

Katalog Dalam Terbitan & Daftar Isi I


Daftar Isi II
Daftar Isi II

Kata Pengantar

Pena Gie
Soe Hok-gie adalah tokoh angkatan ’66 yang namanya berkibar dan paling menonjol pada masa itu. Gie adalah orang yang bermain di balik layar, lewat tulisan-tulisannya di media massa dan pidatonya di radio UI, radio kampus tempat di mana ia berkuliah. Dalam karya-karyanya dia mengkritik para politikus busuk, para koruptor dan tokoh-tokoh mahasiswa yang harusnya menegakkan keadilan tetapi malah merapat kepada kekuasaan. Karena tulisannya yang mengusik kekuasaan, bahkan nyawanya menjadi taruhan atas karya-karyanya. Gie pernah diserempet oleh mobil sebagai sebuah ancaman kecil baginya.
Pena adalah senjata bagi seorang Gie. Bahkan tulisan-tulisannya dibukukan dan terus dibaca hingga kini oleh para aktivis mahasiswa. Itulah sebabnya tempo mencoba mencari tulisan-tulisannya yang masih tersembunyi.
Ternyata banyak dari tulisan-tulisan Gie yang pernah ia tuliskan untuk sahabat dan kekasihnya yang belum pernah dibuka dan dipublikasikan. Tulisan-tulisan itu tersimpan di antara tumpukan dokumen milik Yosep Adi Prasetyo yang akrab disapa Stanley, yang didapatkannya dari sahabatnya yang adalah kakak dari Soe Hok-gie, yaitu Arief Budiman.

Gie dan Surat-surat yang Tersembunyi
Surat-surat Gie yang belum dipublikasikan itu kini telah menguning dan terlipat di antara tumpukan dokumen Yosep Adi Prasetyo. Surat-surat itu berupa ketikan rapi di atas kertas ukuran kuarto. Tulisan-tulisan itu belum dipublikasikan karena dilarang oleh kakak Gie, Arief Budiman. “Kalau dikeluarkan, ini akan menimbulkan masalah bagi teman-teman yang masih hidup,” kata Stanley.
Dalam surat-surat itulah Gie menumpahkan perasaan dan analisisnya terhadap situasi sosial-politk, hubungannya degan teman sesama pendaki gunung, kritik terhadap para pemimpin mahasiswa yang berlomba-lomba mencari jabatan di pemerintahan setelah jatuhnya Presiden Soekarno dan adapula soal pembantaian massal anggota Partai Komunis Indonesia. Ternyata buku-buku yang sudah ada belum cukup untuk menjelaskan peran Gie dalam mendesak pemerintah agar menghentikan pembantaian terhadap korban.
Gie adalah seorang demonstran dan juga seorang pendaki gunung. Di mata para sahabat Gie adalah orang yang selalu angkat bicara menentang segala ketidak-adilan dan segala sesuatu yang tidak benar. Dia selalu marah kepada para pelaku-pelaku ketidak-adilan, para koruptor dan para penjilat kekuasaan. Karena kemarahan-kemarahannya inilah ia dijuluki oleh Rudy Badil sahabat Gie sesama pendaki gunung sebagai seorang “the angry young man”.
Gie ikut menyuarakan aspirasi-aspirasi mahasiswa dalam demonstrasi-demonstrasi yang ia pimpin, meskipun ia bukanlah tokoh utama. Gie bermain dibelakang dengan merancang demonstrasi.

Komunis dan Map Hijau
Burung Tanpa Kaki
Soe Hok-gie menceritakan jalan hidup Shane di radio kampusnya, Universitas Indonesia. Bagi Gie, hidup Shane menjadi inspirasi bagi kehidupan para mahasiswa yang disebut Gie sebagai “the happy selected view” (sedikit orang terpilih yang berbahagia) yang dapat menikmati kuliah. Baginya mahasiswa harus melibatkan diri dalam peranan bangsanya. Hal ini ia buktikan dalam dirinya lewat ikut dalam berbagai demonstrasi mahasiswa baik yang digalang oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan merancang long march dari kampus Universitas Indonesia (UI) di Salemba ke Rawamangun pada 11 Januari 1966. Meski dia tidak tergolong organisasi manapun. Karena bagi Gie, tak seharusnya mahasiswa berpolitik praktis.
Gie adalah seorang intelek kampus. Ia tergabung dalam kelompok-kelompok diskusi untuk menyalurkan ide-idenya. Meski dia tidak menyukai organisasi massa di luar kampus, namun dia punya akses ke HMI, PMKRI, Pimpinan KAMI maupun Rektor UI.
Senjata bagi Gie adalah penanya yang tajam. Ia mengkritik Presiden Sukarno, pejabat-pajabat korup, menteri-menteri sontoloyo dengan tulisan-tulisannya yang dimuat dalam Sinar Harapan, Kompas, Indonesia Raya, Harian KAMI dan Mahasiswa Indonesia. Dalam tulisan-tulisannya ia menyampaikan pendapat-pendapatnya di tengah-tengah perjuangan mahasiswa yang berjuang untuk menurunkan harga bensin dan menegakkan keadilan dan kejujuran. Tekanan terus didapati oleh Gie karena tulisan-tulisannya, ia bersama rekannya Aristides Katoppo pernah di serempet oleh mobil saat berjalan-jalan di Jakarta, setelah kasus itu, kawan Aristides berkata “Itu sebagai peringatan kecil saja karena Gie teman Aristides”.
Gie pernah ditawari oleh Presiden Sukarno menjadi Kepala Museum Monumen Nasional, tapi Gie tidak mau. Ia lebih memilih menjadi seorang dosen di kampusnya. Meski dia di kampus, namun ia tidak diam membiarkan ketidak-adilan terjadi. Dia juga mengkritik kasus korupsi di fakultasnya dan terus menyerang ketidakberesan pemerintah. “Rasanya saya adalah seekor burung yang tak punya kaki. Jadi, saya terpaksa terbang terus di antara awan-awan dan tanah. Tetapi, sebelum saya mati saya masih dapat berkata, ‘ya, saya telah hidup dan merasai panas dan hujan’,” (Surat kepada Nurmala Kartini Panjaitan, 23 Juli 1968).

Strategi Liar Seorang Demonstran
Malam pada pertengahan Januari 1966 menjadi saksi betapa briliannya ide Gie, aktifis yang menjadi penggerak demonstrasi-demonstrasi mahasiswa. Malam itu puluhan mahasiswa berkumpul di rumah Laskar Arief Rahman Hakim. Mereka tiba-tiba bergegas menuju Stasiun Gambir dengan membawa setumpuk pamflet perjuangan. Sesampainya di sana, para mahasiswa menempelkan pada kereta-kereta yang akan berangkat ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pamflet itu adalah Tritura atau Tiga Tuntutan Rakyat—tuntutan agar harga bahan kebutuhan pokok diturunkan, Partai Komunis Indonesia dibubarkan dan kabinet dirombak. Itu adalah ide Gie untuk menyampaikan pesan agar sampai ke Jawa.
Selama Januari-Maret 1966, banyak ide jenius Gie dan Herman yang muncul. Salah satunya, para mahasiswi meletakkan bunga di pucuk senapan tentara seraya berkata, “Bapak-bapak juga punya anak dan istri, bukan?” Hal ini membuat para tentara menjadi diam.
Lanjut pada 15 Januari 1966 saat sidang kabinet Dwikora. Dari kampus Salemba para mahasiswa menaikkan sepeda-sepeda ke ke truk, setelah sampai di Bogor para mahasiswa menurunkan sepeda-sepeda sehingga membuat kemacetan dan membuat para tentara yang berjaga terpecah.
Pada 22 Februari 1966, Gie dan Marsillam Simanjuntak ketua KAMI Jaya pada masa itu merancang sebuah demonstrasi mahasiswa menyusup ke apel setia kepada Bung Karno di Lapangan Benteng, Jakarta Pusat. Gie Mengusulkan kepada para demonstran mahasiswa UI melipat satu celana sebagai tanda pengenal selain menggunakan jaket berwarna kuning, jika terjadi chaos.
Pada aksi Tritura 10 Januari 1966 Gie mengusulkan untuk mengempeskan ban-ban anggota kabinet agar mereka tidak bisa bergerak.

Rahasia dalam Map Hijau
Naskah-naskah asli tulisan-tulisan Gie, ia simpan dengan baik dalam sebuah map. Pada pertengahan 1989, Yosep Adi Prasetyo menemukan map itu di rumah Arief Budiman, kakak Gie. Surat-surat dan artikel-artikel pendapat Gie yang belum pernah dipublikasikan itu berada di perpustakaan pribadi sang kakak. Kebetulan Arief bertugas ke Korea Selatan selama dua pekan. Yosep bersedia menjaga rumah kosong tersebut, asalkan diizinkan untuk melihat koleksi-koleksi bukunya.
Kini map hijau itu berada di tangan Yosep. Selama ini Arief Budiman melarang Yosep untuk menerbitkan surat-surat itu, karena ditakutkan dapat menimbulkan permasalahan bagi nama-nama yang disebutkan oleh Gie. Karena kepercayaan sebagai seorang sahabat, Arief bersedia memberikannya kepada Yosep dan ia bersedia memberikan sejumlah surat kepada Tempo.
            Dalam surat-surantya (Gie), ia mengeluhkan soal kondisi  pergerakan di Indonesia dan bagaimana militer serta partai memanfaatkan mahasiswa demi kepentingan mereka (pribadi). Gie juga berkirim surat dengan beberapa kawan aktifis di luar rekan-rekan seperjuangan di Universitas Indonesia. Ia banyak membahas tentang rasa kekecewaannya terhadap Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) dan juga curhat tentang perilaku pejabat serta pembunuhan massal.

Gusar di Tengah Pembantaian
Gie sangat gelisah terhadap pembantaian simpatisan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965-1968. Kegelisahannya tampak pada suratnya yang ia tuliskan kepada sahabatnya yang menjadi tempat ia berdiskusi yaitu Herberth Faith yang tinggal di Australia yang juga menulis tentang Indonesia. Dalam suratnya Gie menuturkan bagaimana pembantaian itu terjadi. Kisah pembantaian di Purwodadi terjadi pada suatu malam, di atas pukul 21.00, korban mencapai 75 orang, mereka dipukul dengan besi, ditikam dan kadang-kadang ditembak. Sebelum korban dibunuh, para korban diinterogasi apakah mereka ikut PKI? Dan jawaban yang diinginkan hanyalah “iya”, bila korban tidak mengaku iya maka, bagi pria kemaluannya disetrum dan wanita buah-dadanya disetrum, yang ujung-ujungnya mereka mengiyakan karena tidak tahan atas siksaan itu. Atas dasar pengakuan itulah mereka dihukum mati.
Gie sangat gelisah akan hal ini, saking pedulinya pada simpastisan PKI, ia mendatangi Bali, Purwodadi dan Semarang, tempat di mana para simpatisan PKI dibantai. Ia menyaksikan sendiri bagaimana kekejaman itu terjadi. Hal ini sangat memilukan hatinya, sehingga ia sangat mengecam para pemerintah yang berlaku tidak adil. Meski dia anti-komunis namun ia tetap tidak membiarkan ketidak-adilan itu terjadi.

Mengeras di Negeri Abang Sam
Gie menerima undangan dalam rangka studi banding di Amerika Serikat. Ia berkeliling Amerika Serikat selama 75 hari dan berkunjung ke sejumlah kampus dan mengikuti berbagai diskusi. Ia banyak mendapat ilmu baru di sana, terlebih mengenai ras. Hok Gie tidak Cuma mengikuti ceramah dari aula ke aula lain namun juga menyaksikan mahasiswa-mahasiswa berderap ke kampus-kampus.

Cinta, Gunung dan Film

Buah Jatuh Tak Jauh dari Babah
Gie lahir dari sebuah keluarga sederhana yang tinggal disebuah rumah tiga kamar di Jalan Kebon Jeruk IX, Jakarta Barat. Keluarga yang tidak terlalu menonjol, bukan miskin bukan pula keluaga yang wah, mereka hidup pas-pasan. Keluarga Soe Lie Piet (ayah Gie) selalu mengikuti perkembangan berita. Gie mewarisi bakat ayahnya yang gemar membaca dan menulis, pun kesenangan ibunya untuk selalu berdiskusi mengenai isu-isu nasional yang sedang hangat.
Dulunya ayah Gie merupakan seorang jurnalistik (awal 1920). Ia bekerja sebagai jurnalis sampai pada tahun 1942, kemudian ia pensiun. Sejak saat itulah kehidupan keluarga mereka menjadi pas-pasan.
Gie mewarisi hobi menulis dari ayahnya dan ia mulai suka menulis sejak umur 12 tahun.

Remaja Bercelana Pendek Bervisi Panjang
Bakat Gie dalam menulis tidak tumbuh begitu saja. Ia mulai menulis sejak SMP dan mengkritik hal-hal yang ia rasa tidak tepat yang terjadi di sekolahnya. Misalnya ia pernah melawan gurunya mengenai hal penulis sebuah buku. Lalu ia masuk ke SMA Kolese Kanisius, di sana pun ia semakin getol dalam menulis. Ia banyak mendapati ketidakadilan dalam sekolahnya, dalam sekolahnya mereka yang miskin dan kurang baik dari segi sosial tidak akan diterima di sana. Hal ini merupakan sebuah ketidakadilan bagi Gie. Sehingga ia berontak akan hal ini melalui tulisannya yang dimuat dalam majalah sekolahnya. Meski masih SMA Gie sangat aktif dalam menulis setiap bulan ia mengirimkan tulisannya kepada redaktur sekolah agar tulisannya dimuat. Hal ini membuat kemampuan Gie dalam menulis semakin berkembang hingga ia kuliah di Universitas Indonesia.

Tiga Asmara Berakhir di Pendakian
Soe Hok-gie memiliki hubungan sangat dekat dengan tiga orang perempuan.
Nurmala Kartini Panjaitan adalah seorang perempuan yang ia sukai dan Gie menyebutnya sebagai pacar kecil-kecilan. Hubungan mereka sangat akrab. Pada suatu sore Gie mengungkapkan perasaanya kepada Kartini. Ketika itu pada 11 Desember 1969 sore yang gerimis, ia mengungkapkan perasaannya kepada Kartini, Gie berkata bahwa dia sangat menyayangi Kartini. Kencan tersebut sekaligus pamitan, karena keesokan harinya Hok-gie akan pergi mendaki Gunung Semeru di Jawa Timur bersama Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Universitas Indonesia.
Namun menurut Kartini, ada seorang perempuan yang menjadi pujaan hati Hok-gie yang selalu mengusik hidup Hok-gie, para teman-teman Gie sepakat bahwa nama itu adalah Maria. Gie sangat cinta mati kepada Maria yan merupakan adik kelasnya di jurusan sastra Perancis. Begitu juga dengan Maria. Hubungan keduanya telah berjalan selama satu tahun, namun secara diam-diam dan sembunyi dari orang tua Maria, karena status sosial. kala itu orang tua Maria adalah seorang pedagang sukses, sedangkan Gie hanyalah anak seorang Jurnalis yang sudah lama pensiun. Namun pada akhinya Maria menikah dengan seorang dokter dan menetap di Belgia.
Hubungan Gie dengan Maria kian rumit. Maria cemburu kepada Luki Sutrisno Bekti, seorang yang seangkatan dengan Maria di Jurusan Sastra Prancis yang dekat juga dengan Gie. Namun bagi Gie, Luki hanyalah seorang teman akrab.

Anak Gunung Nomor 007
Rasa muak akan suasana politik kampus mendorong Gie dan Herman Lantang untuk mendirikan organisasi pendaki gunung. Pada 11 Desember 1964 di Ciampea, Bogor diadakan rapat untuk membentuk organisasi pecinta gunung itu. Lalu didirikanlah Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Prajnaparamita Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) yang menjadi cikal bakal Mapala UI. Nama Prajnamaramita adalah diambil dari lambang senat mahasiswa Fakultas Sastra pada saat itu dan organisasi itu berada di bawah naungan senat. Setelah 5 bulan, mereka dilantik dan Gie mendapat nomor 007. Nomor itu bukanlah pilihan Gie namun hanya kebetulan saja, tidak ada hubungannya dengan James Bond, agen rahasia rekaan Ian Fleming.
Tapi peran Gie di Mapala boleh dibilang seperti James Bond yang cerdas dan brilian, hal inilah yang menjadi senjata bagi Gie dalam meluluhkan hati orang tua agar kiranya mengizinkan anaknya untuk ikut dalam mendaki gunung, Gie adalah anak yang pintar ngomong dan orang yang santun.
Gie akan memaparkan kepada orang tua dan mahasiswa alasan mengapa perlu mendaki gunung. Alasannya adalah untuk membangun idealisme di kalangan mahasiswa agar mencintai tanah airnya secara utuh dan jujur. Gie percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia, barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot bangsa yang baik. Alasan itulah yang digunakan oleh Gie untuk meluluhkan mahasiswa ataupun para orang tua.

Gie Ala Mira-Riri
Pada tahun 2005 film Gie dirilis. Dalam film ini sosok Gie diperankan oleh Nicholas Saputra. Namun, ia dinilai kurang pas untuk memerankan sosok seorang Gie. Nicholas dinilai terlalu tampan dibandingkan dengan Gie yang sederhana. Dalam film juga ia terlihat sebagai seorang yang pendiam, padahal Gie sebenarnya adalah seorang yang suka berbicara dan humoris.
Namun menurut Mira Lesmana, produser Film Gie, hal itu bukanlah menjadi masalah sebab yang terpenting adalah pesan dan pemikiran Gie dapat tersalurkan dengan baik. Buat apa memerankan karakter yang mirip namun tidak memiliki kualitas acting yang baik, maka bisa hilang semua roh Gie itu.

Pena, Megafon dan Semeru

Pengkritik Keras Bung Besar
Soe Hok-gie berdiri sambil menggenggam megafon. Bersama ribuan mahasiwa dari Jakarta, pada Sabtu siang, 15 Januari 1996 dan berdemonstrasi di Istana Bogor. Hal ini Karena Soekarno memanggil sejumlah pimpinan aktivis mahasiswa untuk mengikuti rapat dalam Kabinet Dwikora. Hal itu adalah sebagai sebuah cerminan pertentangan dari kekuatan-kekuatan politik di Indonesia. Sebagai mahasiswa, Gie telah tiga kali bertemu dengan Sukarno dan pada saat itulah ia menemui para menteri-menteri dan pejabat-pejabat yang banyak menjilat kepada Sukarno. Ia menganggap bahwa Sukarno telah menghianati kemerdekaan dan menurut Gie generasinyalah yang mendapat tugas untuk memberantas generasi tua yang mengacau.

Penyumbang Ide dan Tokoh Lapangan
Demonstrasi mahasiswa berlangsung pada Oktober 1965 sebagai bentuk protes ketidakpuasan atas pemerintahan Presiden Sukarno yang lembek terhadap PKI dan dengan semakin terasanya krisis ekonomi pada akhir 1965. Tuntutan yang disampaikan oleh para mahasiswa adalah Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura), yaitu 1. Bubarkan PKI, 2. Rombak Kabinet Dwikora, dan 3. Turunkan Harga. Pada 12 Januari 1966, sekitar 50 mahasiswa melakukan long march dari kampus UI di Salemba menuju Rawamangun. “Akulah arsitek dari long march  ini,” kata Soe Hok-gie. Hal ini bukanlah demonstrasi yang pertama bagi Gie dan ia punya banyak ide yang bisa disalurkan seperti kempesin ban dan sebgainya.
Gie dijuluki sebagai man of action di samping sebagai seorang intelek Gie juga punya kemampuan untuk memimpin di lapangan.

Gincu dan Kutang untuk Teman Seperjuangan
Pada 8 Desember 1969, Soe Hok-gie bertandang ke rumah Marsillam Simanjuntak di Jalan Dempo, Matraman, Jakarta Timur dengan membawa aneka barang yang lazimnya dimiliki oleh perempuan, antara lain gincu, bedak dan kutang bersama dengan itu ia menenteng sejumlah pucuk surat. Semuanya itu ia persiapkan bukanlah untuk pacarnya, namun barang-barang itu ia persiapkan kepada teman-temannya sesama aktivis ’66 yang tengah duduk manis di kursi Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) di Senayan. Hok-gie sangat kecewa karena setelah mereka duduk di dewan sudah tidak kritis dan tak berani lagi. Mereka hanya duduk manis menyaksikan ketidakadilan terjadi.

Firasat Mimpi Tiga Mayat
Pada malam 14 Desember 1969 Aristides mengigau  yang membuat Hok-gie tak bisa tidur. Aristides bermimpi melihat tiga mayat, namun ia tidak memperhatikan dengan jelas siapa ketiga mayat yang ada dalam mimpinya itu. Adegan berikutnya, dia mengevakuasi jenazah dengan ambulans. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa hal itu adalah suatu firasat, sehingga ia menyembunyikannya dan tidak menceritakannya kepada teman-temannya, karena tak ingin kawan-kawannya jadi kecut. Mimpi Aristides itu ia alami di tempat mereka beristirahat, yaitu Oro-oro Rombo. Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan dan Aristides memimpin di depan, namun tiba-tiba saja pandangannya tertutup oleh kabut dan melihat Semeru seperti aangker dan menakutkan dan dia seolah-olah melihat maut. Ia pun bertanya kepada Gie apakah ia melihat hal yang sama, namun Hok-gie menggelengkan kepala. Kelompok Gie sampai lebih dulu, kemudian ia ingin menunggu Herman sampai. Akhirnya Herman dan Idhan sampai di puncak. Dia mendapati Hok-gie sedang duduk. Idhan ikut duduk, sedangkan Herman tetap berdiri.
Karena duduk itulah Hok-gie dan Idhan menghirup gas beracun yang massanya lebih berat daripada oksigen. Hok-gie dan Idhan tidak mengetahui bahwa kawah Jonggring Seloko menyemburkan gas beracun yang tidak terlihat dan tidak berbau. Herman mengingat kondisi Hok-gie saat itu sudah lemas. Ia mencoba menuntun Gie turun menuju shelter, ternyata Gie tidak berbicara dan di lengannya tidak ada denyut nadi, Gie tewas sebelum merayakan ulang tahunnya yang ke-27. Idhan juga ditemukan oleh Herman sudah lemas dan beberapa saat kemudian ia juga tewas. Dua hari setelahnya jenazah Gie dan Idhan dievakuasi oleh tim SAR. Jenazah Gie dan Idhan dikubur di Taman Pemakaman Umum (TPU) Menteng Pulo, Jakarta Selatan.
Setahun kemudian, jasad Gie dipindahkan ke TPU Tanah Abang, lalu pada 1975 keluarga memutuskan untuk mengkremasi jasad Gie dan abunya disebar di lembah Mandalawangi, Gunung Pangrango, Jawa Barat, tempat favorit bagi Gie. Dan nisan Gie ditanam di Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat.

Kolom

Sosialis yang Kesepian
Oleh Budiman Sudjatmiko

Pada suatu pagi di tahun 1987, seorang anak berusia 17 tahun sedang gelisah di bangku belakang sebuah kelas Sekolah Menengah Atas (SMA) di Yogyakarta. Sementara gurunya sedang menjelaskan mata pelajaran yang begitu-begitu saja, dan sang anak sedang membuka-buka halaman buku Catatan Seorang Demonstran. Sebagaimana anak muda seusianya yang sedang mencari-cari tokoh idolanya. Anak muda itu adalah saya (Budiman Sudjatmiko).
Sosok seorang Soe Hok-gie adalah seorang pemuda yang politis, progresif dan jago menulis. Bagi saya, Gie adalah pemuda dan manusia yang bersikap empati dan berpihak kepada rakyat kecil.

Progresif yang Kesepian
Gie adalah seorang yang merindukan dunia yan penuh dengan kedamaian di mana orang-orang sibuk berbicara mengenai pembaruan kehidupan ke arah yang lebih baik. Gie menyampaikan pemikirannya dalam ide-idenya yang ia tulis untuk menentang ketidakadilan. Dalam hal ini banyak musuh yang harus ia hadapi sebab pemikirannya jauh melebihi apa yang dipikirkan oleh teman seperjuangannya. Ia menentang gerakan-gerakan politik yang menderitakan rakyat.

Demokrasi dan Manusia Politik
Gie dengan sikapnya, banyak orang memandang bahwa orang baik itu selalu berada di luar sistem dan menjaga jarak dengan kekuasaan. Namun ada pandangan lain yang harus kita pikirkan. Masa Gie adalah masa Orde Baru di mana kepemimpinan bersifat otoriter yang bahkan bisa melakukan apapun untuk menjatuhkan musuh politiknya bahkan sekalipun melanggar etika dan hukum. Jadi secara rasional dan secara sadar kita akan dapat memahami bagaimana sikap yang Gie ambil untuk tetap berada di luar sistem, dibandingkan dengan rekan-rekannya yang memilih untuk terlibat dalam dunia politik.
Ia asyik mengeluarkan ide-idenya yang menentang ketidakadilan dan lupa berinteraksi dengan masyarakat yang ia bela untuk membangun otak dan otot. Sehingga pada akhirnya ia tetap menjadi seorang yang kesepian dengan karya-karyanya yang tidak dapat dipahami oleh mereka yang ia bela.

--- Respect ---

Posting Komentar

Posting Komentar