Teologi
Kontekstual dalam Menghadapi Era Revolusi Keempat
Teologi Kontekstual dalam Menghadapi Era Revolusi Keempat (Revolusi Industri 4.0)
Pendahuluan
Dunia kini sudah
diperkenalkan dengan era baru, yaitu era Revolusi Industri Keempat. Revolusi
Industri selalu ditandai dengan perubahan besar yang mempengaruhi kehidupan
manusia, karena itulah disebut sebagai revolusi. Hingga kini telah ada
setidaknya lima fase Revolusi Industri, Revolusi Industri pertama, kedua,
ketiga, keempat dan kelima. Namun secara umum Revolusi Industri yang sedang
berjalan di Indonesia adalah Revolusi Industri yang Keempat. Revolusi Industri
ini ditandai dengan kecepatan jaringan dan interkoneksi di segala lini
kehidupan. Di Indonesia sendiri sedang berkembang pesat penggunaan internet
dalam segala kehidupan, ditandai dengan hadirnya start up yang berbasis kebutuhan manusia, meliputi belanja,
transportasi, pendidikan dan lain sebagainya.
Perkembangan ini sangat
memudahkan kehidupan manusia di segala bidang. Sehingga sangat membantu
efisiensi dan efektifitas dalam pengerjaan sesuatu. Gereja tumbuh dan
berkembang di Indonesia yang saat ini sedang dalam mesra-mesranya dengan
teknologi Revolusi Industri Keempat. Secara perlahan mulai disadari, sama
seperti teknologi lainnya ternyata era Revolusi Industri Keempat ini bukan
hanya membawa dampak positif, namun juga berdampak negatif. Dengan dimungkinkannya
komunikasi yang sangat cepat menimbulkan menjamurnya penyebaran berita bohong (hoax) di media sosial, terancamnya
lapangan pekerjaan, meningkatnya diskriminasi sosial, adanya siber bulli dan
dampak negatif lainnya, karena itu di era ini sering juga disebut sebagai era
disrupsi (penurunan nilai-nilai). Selaku gereja yang ditempatkan di bumi
Indonesia, gereja harus selalu menyadari panggilannya untuk selalu menjadi
garam dan terang di tengah-tengah dunia ini. Bagaimanakah gereja dapat menjawab
persoalan yang ada ini? Bagaimana gereja dapat menggarami di tengah-tengah era
disrupsi ini? Karena itu perlu suatu kajian teologi agar gereja dapat merespon
dan memberikan feed back positif
terhadap permasalahan-permasalahan yang ada. Pada tulisan ini akan didalami bagaimana suatu teologi yang kontekstual dari
perspektif Perjanjian Baru untuk menghadapi era Revolusi Industri Keempat.
Sekilas tentang
Revolusi Industri Keempat
Saat ini kita berada
ditengah-tengah Revolusi 4.0. Pemicuya adalah penyebaran global internet dan
teknologi baru seperti sensor nirkabel serta kecerdasan buatan (Artificial Intelligence (AI)). Seperti
pendahulunya Industri 4.0 akan secara radikal mengubah cara manusia hidup dan
bekerja.[1]
Revolusi Industri
keempat atau lebih dikenal dengan istilah Revolusi Industri 4.0 atau dikenal
juga dengan Fourth Industrial Revolution (4IR)
merupakan era Industri Keempat sejak Revolusi Industri Pertama pada abad ke-18.
Era 4IR ditandai dengan perpaduan teknologi yang mengaburkan batas antara
fisik, digital dan biologis atau secara kolektif disebut sebagai sistem
siber-fisik (cyber-physical system/ CPS).
Era ini juga ditandai dengan munculnya terobosan teknologi di sejumlah bidang.
Bidang-bidang yang dimaksud meliputi bidang robotika, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/ AI),
nanoteknologi, komputasi kuantum (quantum
computting), bioteknologi, Internet
of Things (IoT), Industrial Internet
of Things (IIoT), teknologi nirkabel generasi kelima (5G), aditif
manufaktur/ pencetakan 3D dan industri kendaraan otonomi penuh (fully autonomous vechiles).
Besarnya jangkauan perubahan ini menandai transformasi seluruh sistem produksi,
manajemen dan pemerintahan.[2]
Revolusi Industri
Keempat dibangun di atas revolusi digital, mewakili cara-cara baru ketika
teknologi menjadi tertanam dalam masyarakat dan bahkan tubuh manusia. Revolusi
ini berbeda dari tiga revolusi sebelumnya. Dasar yang mendasari 4IR terletak
pada kemajuan dalam komunikasi dan keterhubungan dibandingkan teknologi.
Prasa Revolusi Industri
Keempat pertama kali diciptakan oleh Schwab pada tahun 2016 dan diperkenalkan
pada tahun yang sama di World Economic Forum. Revolusi Industri Keempat adalah
lingkungan kita dan terus berkembang. Teknologi dan tren dalam era 4IR akan
mengubah cara kita hidup dan bekerja. Tenaga uap, listrik dan komputasi
masing-masing telah merevolusi cara kita hidup dan bekerja. Dahulu lompatan
raksasa berupa alat tenun, bola lampu dan komputer mainframe, maka hari ini
gilliran internet. Sejak diciptakan pada tahun 1980-an, World Wide Web telah berkembang dengan laju yang eksplosif dan
sekarang dapat melakukan lebih dari sekedar membantu orang berbagi informasi.
Di era ini, web sedang berkembang memajukan orang, bisnis, mesin dan logistic
ke dalam Internet of Things (IoT).
Dampak
Revolusi Industri Keempat
1.
Adanya
Kampung Siber
Dengan adanya Revolusi Industri Keempat yang
mengunggulkan interkoneksi di segala bidang maka salah satu yang sangat berubah
dalam kehidupan manusia saat ini adalah cara manusia berkomunikasi. Komunikasi
tidak lagi dilakukan secara konvensional, namun sudah dengan cara modern dengan
menggunakan teknologi. Salah satu yang berkembang saat ini adalah penggunaan
media sosial sebagai alat komunikasi. Saat ini rata-rata di antara kita
menggunakan hand phone dengan
aplikasi-aplikasi alat komunikasi terkenal, seperti Facebook, Whatsapp,
Instagram dan lain sebagainya. Hal ini mengakibatkan adanya revolusi media
sosial, contohnya, diwujudkan oleh Facebook, Twitter dan Tencent dan memberikan
pengaruh pada semua orang. Selain itu cara manusia berkomunikasi secara
langsung diseluruh planet ini berubah. Saat ini, lebih dari 30% penduduk dunia
menggunakan layanan media sosial untuk berkomunikasi dan agar tetap update dengan berbagai peristiwa dunia.[3]
Media massa adalah wujud informasi yang semakin maju. Dewasa ini
peralatan-peralatan komunikasi makin kecil dan makin mungil, tetapi pada saat
yang sama makin canggih. Segala sesuatu bisa diselesaikan dari atas telapak
tangan. Kemajuan internet, Facebook, Twitter dan seterusnya tidak terbayangkan
pada 50 tahun lalu. Sekarang hampir setiap orang mempunyai alat-alat komunikasi
mulai dari yang sederhana hingga yang canggih. Kemajuan ini merupakan suatu berkat.
Manusia bisa memiliki kesatuan di seluruh dunia melalui alat-alat komunikasi
yang canggih tersebut. Siapapun di dunia ini bisa dikontak dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya. Jarak menjadi sangat dekat, sedekat pijatan jari ke atas
tombol-tombol. Bahkan, orang-orang sekarang mempunyai kebiasaan untuk melakukan
“siaran langsung” kendati yang disiarkan itu tidak selalu penting dan mendesak,
malahan ada yang tidak penting sama sekali dan waktu pun nyaris nol.[4]
Inovasi ini menciptakan lingkungan global atau
kampong global (global village),
meminjam istilah Marshall McLuhan,[5]
yang sebenarnya dan membawa milyaran orang masuk ke dalam ekonomi global.
Layanan belanja dan pengiriman online,
termasuk yang menggunakan drone
membentuk ulang pemahaman akan kenyamanan dan pengalaman ritel. Kemudahan
pengiriman mengubah masyarakat, bahkan yang tinggal di tempat-tempat terpencil
dan memacu ekonomi pedesaan atau daerah terpencil.[6]
Media sosial dapat menghapus batas dan menyatukan
setiap orang, akan tetapi pada waktu bersamaan juga dapat mengintensifkan
kesenjangan sosial. Keadaan ini memberi kesempatan luas bagi persekusi siber (cyber bullying), ujaran kebencian (hate
speech) dan penyebaran berita bohong (hoax).[7]
Di sisi lain kita hidup di dunia tempat informasi pribadi setiap individu bisa dilacak dan digunakan sebagai kunci utama untuk memberikan layanan yang lebih cerdas dan personal. Sebagai contoh:
- Facebook melacak apa yang kita lakukan sehingga bisa mengetahui konten dan iklan mana yang paling relevan bagi kita.
- Ponsel cerdas melacak lokasi kita dan kita dapat memberikan informasi itu dengan aplikasi untuk merekomendasikan tempat makan atau berbelanja.
- Penjual menganalisis riwayat pembelian kita untuk merekomendasikan produk dan menawarkan diskon agar dapat meningkatkan penjualan.
Teknologi semacam itu memang dapat membuat kita merasa lebih aman, akan tetapi bisa juga mengawasi kita saat kita tidak menginginkannya.[8]
2.
Risiko
Siber (cyber risk)
Dalam konektifitas yang dimungkinkan di era Revolusi
Industri 4.0 akan semakin marak tindakan peretasan.[9]
3.
Risiko
Talenta
Revolusi Industri 4.0 kemungkinan akan mendorong
perubahannya sendiri terhadap tenaga kerja. Yang pasti adalah kebutuhan atas
sumber daya manusia (SDM) dengan keterampilan khusus yang sejalan dengan
Industri 4.0 juga akan mengalami peningkatan.
Kecerdasan buatan menciptakan tingkat produktifitas
baru dan meningkatkan kehidupan melalui banyak cara. Namun hal ini dapat
menjadi kekuatan yang mengganggu, menggusur manusia dari pekerjaan dan
memunculkan pertanyaan mengenai hubungan antara manusia dan mesin.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pekerjaan manusia akan
terpengaruh karena kecerdasan buatan mengotomatiskan berbagai tugas. Namun,
seperti yang dilakukan internet 20 tahun lalu revolusi kecerdasan buatan akan
mengubah banyak pekerjaan dan pada saat bersamaan menelurkan jenis pekerjaan
baru yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, para pekerja yang
berpendidikan rendah dan memiliki sedikit keterampilan berada dalam posisi yang
kurang menguntungkan sejalan dengan berlangsungnnya Revolusi Industri Keempat.[10]
4.
Dampak
Negatif
Kehadiran dari Revolsi Industri 4.0 tidak selamanya
membawa perubahan yang positif di dalam kehidupan manusia. Namun sebagaimana
setiap perkembangan teknologi, ia ibarat pedang bermata dua: satu sisi
berdampak positif, di sisi lain juga berdampak negatif.[11]
Sebagai contoh, di masa sekarang ini uang adalah sesuatu yang sangat berharga,
sampai-sampai banyak orang yang melupakan waktu demi uang daripada waktu
bersama keluarga. Apabila kita lebih menghargai uang daripada waktu bersama
keluarga, kita dapat membangun teknologi yang membantu kita menghasilkan uang
dengan mengorbankan waktu bersama keluarga. Kecerdasan buatan, robotik,
bioteknologi, alat pemograman dan teknologi lainnya bisa saja digunakan untuk
membuat dan menyebar luaskan persenjataan.
Masyarakat memasuki perubahan yang sangat cepat dan
kompleks di bidang teknologi infomasi dan komunikasi (Revolusi Industri 4.0).
Hal ini menciptakan perubahan mendasar di dalam segala bidang kehidupan.
Misalnya: hilangnya ratusan ribu jenis pekerjaan karena adanya perkembangan
teknologi digital. Dalam konteks ini ada tiga hal besar yang berubah: gaya
hidup, gaya berelasi dan gaya bekerja. Bila kita tidak mempersiapkan diri,
keluarga, warga gereja dan bangsa di dalam menghadapi perubahan-perubahan
mendasar ini, maka peran dan relasi antar manusia akan semakin terpinggirkan
dan dapat menciptakan frustrasi sosial.[12]
Media massa merupakan salah satu yang sangat maju
saat ini, akan tetapi, pada saat yang sama kemajuan ini juga bisa menjadi
kutuk. Dalam hal ini terjadi sebuah paradoks, di mana saat teknologi
mempersatukan manusia dan bahkan menghilangkan jarak, tetapi di saat yang sama
pula bisa membuat orang teralienasi/ terasing dari sesamanya, terjadi sebuah
kecenderungan manusia tidak lagi mengadakan komunikasi dengan sesama yang
disekitarnya, tetapi berkomunikasi dengan menggunakan alat-alat. Apabila ada
kesempatan orang sibuk dengan Facebook, Twitter atau media sosial yang lainnya
melalui HP masing-masing tanpa perduli dengan orang di sekitarnya. Kesulitan
yang kita hadapi sekarang adalah, begitu massalnya berita hoax. Semua warga
dapat memproduksi konten media sebagai sesuatu hal yang diperjuangkan dalam
kebebasan berekspresi. Sayangnya kebebasan itu dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok tertentu untuk menyebarkan paham yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila dan berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan
bangsa. Isu suku, agama dan ras menjadi isu yang dibawa ke dalam perdebatan di
media sosial.[13]
Hampir-hampir sulit membedakan, manakah berita yang sejati dan mana berita
palsu. Sekarang ini sangat sering orang merekayasa realitas, apalagi kalau
muatan politiknya begitu kental, akan semakin sulit untuk membedah
berita-berita tersebut.
Saat ini juga teknik menyunting foto sangat canggih
sehingga mendekati kenyataan sebenarnya, sehingga sangat dimungkinkan untuk
mengadakan penipuan, seperti gambar bapak presiden Jokowi yang dituduh terlibat
bersama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pertanyaan yang sangat mendesak
untuk dihadapi saat ini adalah bagaimanakah kita bisa membedakan antara berita
sejati dan berita hoax, antara relitas sejati dan realitas alternatif?
Bayangkan saja apabila alat-alat komunikasi dikuasai oleh kaum radikal yang
kecendrungannya adalah menerapkan budaya kekerasan. Betapa berbahayanya bagi
negara ini dan betapa tragisnya bagi
umat manusia.[14]
Apabila dikategorikan maka Revolusi Industri Keempat ini membawa pengaruh:[15]
- Hedonisme
- Konsumerisme
- No mobile phobia (nomophobia): kecanduan gadget
- Bhuphing: yang dekat menjauh
Secara tidak sadar, namun secara pasti era ini juga
turut mengakibatkan terjadinya penurunan nilai-nilai, karena itu era ini
disebut jugas sebagi era disrupsi[16]
dan penuh ketidakpastian. Disrupsi terjadi karena teknologi yang semakin
canggih, politikal-legal yang semakin tidak menentu, ekonomi yang kian tidak
terprediksi dan bahkan sosial-budaya yang kompleks. Pada era disrupsi ini,
inovasi bergerak sangat cepat dan dinamis, serta semua serba terkoneksi,
sehingga era ini dikatakan sebagai era koneksi internet adalah segalanya, suatu
era yang menghantarkan manusia memasuki gaya hidup baru yang tidak bisa
dilepaskan dari perangkat yang serba elektronik.[17]
Era Revolusi Industri
Keempat dengan Teori Generasi
Salah satu teori yang
sering dikaitkan dengan Revolusi Industri Keempat adalah tentang teori
generasi. Teori ini sangat penting dan sangat membantu kita untuk semakin
memahami secara holistik Revolusi Industri Keempat. Pada tahun 1928 Karl
Manheim mengembangkkan sebuah teori generasi. Pengelompokan generasi di dalam
populasi didasarkan pada pengalaman atau peristiwa besar yang terjadi, bukan
secara kelas sosial maupun geografi. Ia mengembangkan karakteristik kelompok
generasi yaitu dengan kepribadian, nilai kerja, sikap dan motivasi hidup.
Kemudian Brosdahl dan Carpenter meneruskan teori ini dengan membuat
pengelompokkan generasi dan membaginya menjadi 6 kategori, yaitu generasi World War II (1901-1924), generasi silent (1925-1945), generasi baby boomer (1946-1964), generasi X
(1965-1980), generasi Y (millennial) (1981-2003) dan generasi Z (alpha)
(2003-sekarang). Meski kemudian muncul beberapa versi lain[18]
terkait pembagian kategori ini namun tulisan ini hanya akan berfokus pada
pengelompokkan Brosdahl dan Carpenter. Berikut adalah ciri-ciri setiap kategori
generasi:
1. Generasi
World War II (WWII) (1901-1924)
adalah generasi yang lahir dan hidup selama masa perang dunia kedua.
2. Generasi
silent (1925-1945) adalah generasi
yang hidup dan lahir setelah perang dunia kedua. Di juluki 'silent' atau diam, tenang sebab generasi ini masih berada dalam
trauma kolektif dan depresi yang sangat berat akibat perang dunia tersebut.
Generasi ini berfokus pada penyembuhan psikologis dan pembangunan wilayah
jajahan serta negara.
3. Generasi
baby boomer (1946-1964) adalah
generasi yang hidup dan lahir setelah melewati masa 'silent'. Generasi ini telah bangkit dari depresi yang dialami
generasi silent. Sehingga pada
periode ini terjadilah ledakkan penduduk di bumi, di mana banyak negera di bumi
yang bangkit dari perang dan telah membangun kota kemudian membangun
kependudukan dengan tidak membatasi kelahiran.
4. Generasi
X (1965-1980) generasi ini sebagian besarnya merupakan anak-anak dari generasi boomer. Generasi X adalah generasi yang
angka kelahirannya dibatasi oleh alat-alat kontrasepsi. Pengurangan terhadap
angka kelahiran membuat generasi ini mulai berfokus pada pendidikan dan
pekerjaan. Kemajuan IPTEK mulai digagas generasi ini.
5. Generasi
Y (1981-2003) adalah generasi yang lebih sering Kita kenal dengan julukan
generasi millenial. Generasi ini
merupakan anak dari generasi X dan adalah penerus kemajuan IPTEK sekaligus
pengguna teknologi. Generasi meningkatkan IPTEK dengan inovasi dan kreativitas
yang belum pernah terprediksikan sebelumnya. Saat ini generasi Y adalah mereka
yang mendominasi dunia kerja. mereka bekerja menggunakan teknologi canggih dan
sering kali menyukai kemandirian dalam membangun usaha.
6. Generasi
Z (2003-sekarang) generasi ini sebagiannya merupakan anak dari generasi X namun
sebagiannya merupakan anak dari generasi Y. Mereka adalah yang saat ini kita
jumpai di perguruan tinggi hingga yang masih akan dilahirkan. Ada juga yang
menyebut kategori ini sebagai generasi Alpha.
Generasi ini adalah, 100% pengguna teknologi informasi dan komunikasi sehingga
julukan lain bagi mereka adalah i'generation
yaitu generasi internet.[19]
Teori generasi di atas menunjukkan kepada kita bagaimana generasi-genarasi yang ada mendominasi era ini. Secara generasi yang paling banyak mendominasi era ini adalah generasi Y dan disusul oleh generasi Z, mungkin masih ada generasi sebelumnya, tetapi hanya beberapa saja dan tidak terlalu mendominasi era ini. Generasi Y atau generasi milenial adalah mereka-mereka yang melek teknologi, generasi yang fasih teknologi, kreatif, informatif, memiliki passion dan produktif. Generasi ini memiliki minat yang tinggi terhadap pendidikan dan memiliki pola pikir yang terbuka, bebas, kritis dan berani. Selain itu, mereka adaptif dengan perubahan lingkungan.[20] Dengan demikian kemajuan berkembang sangat pesat dan saat ini mereka memang mendominasi pasaran, kita akan menemui segala produk-produk yang memudahkan kita di dalam kehidupan kita, kita menemui beberapa aplikasi yang dibuat oleh orang-orang yang lahir di generasi milenial, seperti Gojek, Bukalapak, Tokopedia dan lain sebagainya.
Di sisi lain kita menemui bahwa lahir dan berkembangnya generasi X dan generasi Y beriringan dengan bertumbuhnya berbagai temuan dan inovasi teknologi digital. Sehingga pada tahap yang berkelanjutan generasi muda ini tumbuh dan berkembang degan sebuah ketergantungan yang besar pada teknologi digital, sehingga tidak mengherankan jika di usia yang sangat belia mereka telah menjadi begitu terampil dalam penguasaannya.[21] Bahkan Don Tapscott menyebutkan bahwa teknologi tidak ada bedanya dengan udara (nafas). Anak-anak generasi Y dan Z memandang bahwa teknologi hanyalah sebagai bagian dari lingkungan mereka dan mereka menyatukannya dengan segala sesuatu yang lain. Bagi banyak kalangan menggunakan teknologi sama dengan bernapas.[22] Apabila kita memandang hal ini, bisa sebagai dampak positif, sebab ketika anak dikembangkan dengan teknologi maka ia akan menjadi berpikiran maju dan kreatif, tetapi di sisi lain, diperhadapkan dengan keburukan yang dimuat di dalam internet atau gadget, bisa saja sejak dini sudah akan terpapar radikalisme, isu sara, dampak negatif pornografi dan lain sebagainya.
Era
Revolusi Industri Keempat dan Bonus Demografi
Salah satu yang mendapat
sorotan penting dalam perdiskusian tentang Revolusi Industri Keempat adalah
Bonus Demografi. Tahun 2030 Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus
demografi.[23]
Bonus Demografi hanya akan terjadi sekali dalam perjalanan sejarah bangsa.
Bonus Demografi terjadi ketika proporsi jumlah penduduk usia produktif (15-64
tahun) berada di atas 2/3 dari jumlah penduduk keseluruhan atau menurunnya angka
ketergantungan atau menurunnya rasio perbandingan antara jumlah penduduk
nonproduktif (-15 tahun dan +65 tahun) terhadap jumlah penduduk produktif (usia
15-64) atau yang disebut sebagai rasio ketergantungan. Apabila kita melihat hal
ini maka di tahun 2030 yang akan mengisi sebagai usia produktif adalah generasi
Y dan generasi Z. Dengan karakteristik generasi Y dan Z yang sangat melek
teknologi dan memiliki daya kreativitas maka ada peluang besar yang perlu
ditangkap dan dimanfaatkan secara maksimal oleh gereja. Dengan adanya bonus
demografi, suplai atau ketersediaan sumber daya manusia produktif yang tinggi
akan berakibat pada meningkatnya produktivitas ekonomi jemaat. Selain itu
gereja dapat memanfaatkan sumber daya itu untuk perluasan jangkauan pelayanan.[24]
Teologi Kontekstual di
Era Revolusi Industri 4.0
Dalam hal ini akan
diupayakan untuk menemukan dan memadukan suatu teologi yang kontekstual di era
Revolusi Industri Keempat. Kontekstualisasi dalam perspektif teologis adalah
upaya jemaat beriman untuk menghayati Injil Kristus. Pada akhirnya ada dua
konteks yang dituntut, konteks budaya jemaat dan konteks budaya Kitab Suci.
Karena itu upaya kontekstualisasi selalu mencakup perjumpaan antarbudaya dan
antarkonteks. Kontekstualisasi tidak pernah berarti mengisolasi jemaat dalam
konteksnya sendiri, suatu hal yang mustahil dalam dunia kita sekarang. Setiap
kebudayaan memiliki kekayaan dan batasnya. Melalui perjumpaan budaya,
jemaat-jemaat dapat saling berbagi nilai-nilai. Nilai-nilai alkitabiah harus
dijumpai melalui komunikasi kritis dan diwujudkan melalui proses kultural.[25]
Dalam hal ini era Revolusi Industri 4.0 akan kita anggap sebagai budaya.
Dianggap sebagai budaya karena telah menjadi kebiasaan dan telah diketahui oleh
kalangan masyarakat luas. Budaya yang dimaksudkan adalah penggunaan terhadap
teknologi Revolusi Industri 4.0.
1.
Konsep
Aku Adalah Yang Awal dan Yang Akhir (Wah. 22:13) dalam Menghadapi Era Revolusi
Industri Keempat
Dunia saat ini berkembang sangat cepat. Perkembangan
yang sangat cepat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, bidang transportasi,
telekomunikasi dan informasi tidak dapat dihindari oleh siapapun dan lembaga
apapun, baik lembaga pemerintah, swasta, bisnis, maupun lembaga nirlaba,
termasuk gereja.[26]
Dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi komunikasi, kita memasuki era
teknologi, yang sering disebut sebagai era Revolusi Industri 4.0 yang ditandai
dengan lahirnya era digital. Mereka yang lahir di tahun 1995 sudah sangat fasih
menggunakan berbagai alat teknologi komunikasi yang canggih, secara simultan.
Mereka adalah generasi “native digital”,
lahir dan dibesarkan dengan teknologi yang canggih. Sekarang ini penggunaan komputer
dan hand phone sudah secara massal.
Tanpa komputer dan hand phone
sepertinya kita tidak berfungsi lagi. Semua bisnis dilakukan dengan sistem online. Hal ini tentu mengakibatkan
mereka yang tidak dapat mengikuti perkembangan bisa semakin tertinggal dan
sulit melakukan peran strategisnya di dalam masyarakat. Kita berhadapan dengan
kecerdasan buatan (AI). Singkatnya terjadi perubahan bahkan loncatan yang
dahsyat yang acap tak dapat dikendalikan lagi oleh manusia. Peran manusia
semakin digantikan oleh alat-alat modern bahkan robot. Relasi dan sentuhan
manusiawi semakin tergeser oleh otomatisasi. Pertanyaan pokok yang muncul:
bagaimanakah dengan masa depan kemanusiaan dan integritas ciptaan di planet
ini?[27]
Yuval Noach Harari, Guru Besar Sejarah pada Hebrew
University di Yerusalem berbicara tentang lompatan peradaban pada 2050 yang
ditandai dengan "budaya digital" dan "artificial intelligence" (AI). Ia bahkan berbicara mengenai
"kediktatoran dijital (digital
dictatorship). Sekali AI membuat keputusan-keputusan yang lebih baik dari
kita, mengenai karir dan mungkin juga relasi-relasi kita, kata Harari, maka
konsepsi kita mengenai kemanusiaan dan kehidupan harus berubah. Biasanya kita
berpikir mengenai kehidupan sebagai drama pengambilan keputusan-keputusan.
Demokrasi (liberal) dan kapitalisme pasar bebas melihat individu sebagai
agen-agen bebas yang mengambil keputusan mengenai nasib dunia ini. Tetapi
ketika AI mendominasi, di mana ia misalnya menentukan bekerja di mana, menikah
di mana dan dengan siapa, dan seterusnya, maka kehidupan manusia bakal berhenti
menjadi drama pengambilan keputusan-keputusan. Keputusan-keputusan nanti akan
sangat tergantung pada kerja AI tersebut. Yang dikatakan Harari ini perlu
direnungkan ketika kita sedang berusaha mewujudkan masyarakat demokratis di
mana prinsip-prinsip demokrasi diterapkan. Demikian juga di bidang ekonomi.
Masihkah ada kemungkinan pengambilan keputusan-keputusan bebas ataukah kita
nanti akan terperangkap dalam kehidupan yang sangat deterministik oleh Al?
Masihkah nanti misalnya berbagai jenis pemilihan (pemilu, pilkada, pilpres)
mempunyai makna signifikan?[28]
Di tengah persoalan yang semakin kompleks ini, kita
dapat mengingat pesan ilahi “Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan
Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir" (Wah. 22:13). Seruan ini
adalah pengakuan iman jemaat perdana. Pengharapan jemaat mula-mula ketika
mengalami tekanan dan tindihan yang berat, seruan ini kembali diperdengarkan
kepada kita, bahwa Allah tidak tidur. Dalam konteks nas ini ada tujuh jemaat
perdana di Asia kecil, yang disapa, yakni: Efesus, Smirna, Pergamus, Tiatira,
Sardis, Filadelfia dan Laodikia (pasal 2-3). Mereka mengalami penganiayaan yang
hebat di bawah kekaisaran romawi menjelang akhir abad pertama. Mereka dipaksa
memuja kaisar dan memberi pengakuan bahwa kaisar adalah tuhan mereka. Penolakan
mereka mengakibatkan siksaan besar. Bahkan ada yang menjadi martir, dibunuh
karena imannya kepada Kristus (17:6). Pada satu pihak, sikap yang baik, jerih
payah dan ketekunan mereka, kesabaran dalam penderitaan yang telah
mereka nampakkan, dihargai dan dipuji. Pada saat yang sama kekurangan dan dosa
mereka pun ditegur. Kehidupan iman mereka yang suam-suam kuku, dan pengaruh
godaan yang membuat mereka menyimpang dari kehendak Allah, juga dikritik.
Jemaat-jemaat perdana itu menghadapi tantangan asimilasi dalam konteks
masyarakat majemuk ketika itu, terutama berhadapan dengan praktik penyembahan
berhala yang lazim dalam konteks masyarakat berlatar belakang Yahudi, Romawi
dan Graeco Romawi. Orang Kristen bergumul menghadapi godaan dari sekitarnya,
antara lain kebiasaan memakan persembahan berhala, praktik zinah dan ajaran
sesat (jemaat Pergamus—2:14; jemaat Tiatira—2:20). Selain itu, sebagian dari
mereka mengalami kemajuan ekonomi sehingga kekayaan dan sikap materialisme
menjadi godaan yang besar bagi mereka (jemaat Laodikia 3:17-18). Kesenjangan
sosial juga masih ada di antara jemaat-jemaat (jemaat Smirna yang miskin secara
ekonomi - 2:9).
Penulis kitab Wahyu hendak menggambarkan realitas
dunia yang diwarnai kejahatan dan kecemaran. Penglihatan yang dilihat Yohannes
di surga, merupakan cerminan dari apa yang terjadi di dunia. Berbagai gambaran
tentang binatang buas dan orang sundal merefleksikan bagaimana ketidakbenaran
dan ketidakadilan merajalela, nampak dalam penyembahan berhala, kebohongan,
kekerasan, kebejatan moral dan materialisme (17:1-6). Terkesan ada "feminisasi
dosa," gambaran tentang "perempuan yang duduk di atas seekor binatang
yang merah ungu, yang penuh tertulis dengan nama-nama hujat dan pada dahinya
tertulis suatu nama, suatu rahasia: Babel besar, ibu dari wanita-wanita pelacur
dan dari kekejian di bumi." Namun 18:3 menjelaskan dosa yang melanda
semua, tanpa kecuali: "karena semua bangsa telah minum dari anggur hawa
nafsu cabulnya dan raja-raja di bumi telah berbuat cabul dengan dia, dan
pedagang-pedagang di bumi telah menjadi kaya oleh kelimpahan hawa
nafsunya." Banyak berkeliaran mereka yang disebut oleh Yohannes sebagai
"..anjing-anjing, tukang-tukang sihir, orang-orang sundal, orang-orang
pembunuh penyembah-penyembah berhala dan orang-orang yang mencintai dusta"
(22:15). Dosa ini menjauhkan mereka dari kota Allah, dari kehidupan yang
sesungguhnya (21:27; 22:15). Ada baiknya kita berhenti sejenak dan merenungkan,
apakah binatang buas dan orang sundal serupa juga ada di tengah kehidupan
masyarakat kita bahkan dalam tubuh kita sebagai gereja Tuhan?
Kontras dengan keadaan itu, Allah dan Kristus
memperlihatkan kehidupan yang benar dan adil (15:3-4 bdk. 19:11: "Lalu aku
melihat sorga terbuka: sesungguhnya, ada seekor kuda putih; dan Ia yang
menungganginya bernama: Yang Setia dan Yang Benar" Ia berperang dan
menghakimi dengan adil.") Yang pasti, lewat nubuat dalam kitab Wahyu,
manusia dihimbau untuk keluar dari Babel, meninggalkan kejahatan kota yang
menghancurkan kehidupan (18:4-5). Kita dipanggil kepada pertobatan! Siapa yang
bertelinga, hendaklah ia mendengar (2:7, 2:11, 2:17, 2:29, 3:6, 3:13, 3:22),
demikian seruan Tuhan. "Berbahagialah mereka yang membasuh jubahnya.
Mereka akan memperoleh hak atas pohon-pohon kehidupan dan masuk melalui
pintu-pintu gerbang ke dalam kota itu." (22:15) Siapa yang melakukan
hal-hal yang benar, mengikut jalan Allah dan Yesus, akan "mengenakan kain
lenan halus yang berkilau-kilauan dan putih bersih" (19:8). Mereka yang
suci berhubungan dengan Allah yang suci (4:8; 6:10). Mereka menolak dosa, tidak
mencemarkan dirinya (3:4; 14:4). Mereka ini mempunyai tempat dalam Yerusalem
baru (21:2).
Betapapun kejahatan dan kecemaran menguasai realitas
hidup, namun perubahan hidup dapat terjadi karena mengandalkan Allah dan karya
Kristus yang menyelamatkan dunia ini. Ketidakbenaran, kebohongan dan kebejatan
moral yang merajalela dapat diubah ketika kasih yang semula dapat bertumbuh
kembali (2:4); kebenaran dan keadilan dapat mengalahkan kebejatan manusia.
Tuhan akan memberikan kebaikan dan negeri kita akan memberikan hasilnya (bdk.
Maz. 85:10-13). Hal ini hanya dimungkinkan karena Allah setia hadir dalam
pergumulan dunia ini sejak awal penciptaan hingga kini bahkan dalam menyongsong
langit dan bumi baru. "Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang
Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir" (22:13).
Janji ilahi, "Aku adalah Alfa dan Omega"
membuat kita seharusnya tidak putus asa dalam perjuangan tetapi terus
berpengharapan menyuarakan pesan-pesan kehidupan dan berbagi kehidupan karunia
Allah dengan sesama dan segenap ciptaan.[29]
Saat Revolusi Industri menawarkan segala kecanggihan dan kelebihannya bahkan
bisa jadi suatu saat akan menyentuh tahap sebagai homo deus meminjam istilah Harari, manusia akan menganggap dirinya
sebagai tuhan atas dirinya sendiri. Pengakuan dan penghayatan akan iman Allah
sebagai Yang Awal dan Yang Akhir perlu untuk digumulkan dan dipegang selalu.
Bahwa secanggih apapun teknologi dan kecerdasan buatan, Tuhan tetap sebagai
Yang Awal dan Yang Akhir.
2. Pemanfaatan
Media di Era Revolusi Industri Keempat untuk Pekabaran Injil
Tugas penginjilan tidak
akan pernah lekang dari gereja. Ia harus selalu melakukan penginjilan di segala
masa di mana ia berada. Yesus menitipkan Amanat Agung kepada para murid-Nya,
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam
nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu
yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu
senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:19-20). Amanat Agung itu kini
diwarisi oleh gereja. Yesus memberikan teladan yang sangat baik dalam melakukan
penginjilan tersebut, Yesus sudah terlebih dahulu melakukannya. Yesus hadir di
tengah-tengah kebudayaan dan tradisi Agama Yahudi. Budaya Yahudi dikenal dengan
sistem Hukum Taurat yang sangat ketat dan sangat menguduskan bait Allah. Namun
Yesus datang dengan cara yang baru yang tidak mengikuti hukum Yahudi, Ia tidak
menggunakan Bait Allah untuk memberitakan Kerejaan Allah. Kerajaan Allah yang
diberitakan oleh Yesus adalah suatu tatanan baru yang muncul sungsang di
tengah-tengah budaya Palestina pada abad pertama.[30]
Yesus menggunakan cara-cara baru dalam memberitakan Injil yang dinamis dan
tidak kaku. Yesus melakukan pengkontekstualisasian dengan melakukan pemberitaan
Kerajaan Allah di pinggir danau, di sungai Yordan, di bukit, di kapal dan di
tempat lainnya.
Hal ini berlanjut
kepada penginjilan yang dilakukan oleh Rasul Paulus. Paulus adalah Rasul yang
paling terkenal di Perjanjian Baru, karena banyaknya karya tulisnya yang ia
kirimkan kepada jemaat-jemaat. Paulus melakukan penginjilan dengan konteks
budaya setempat. Ketika Rasul Paulus berkunjung ke orang-orang Atena, Yunani,
ia melihat sebuah tulisan di sebuah mezbah “Kepada allah yang tidak dikenal”
(Kis. 17:22-34), lalu Rasul Paulus memberikan pemahaman yang baru tentang Allah
kepada mereka. Lalu saat Rasul Paulus berada di Korintus dan tinggal di rumah
Akwila yang adalah seorang tukang kemah (Kis. 18:3), Paulus tidak mengikuti
gengsi dan justru ikut bekerja bersama-sama dengan mereka.
Kita mengingat pada
tahun 1440-an, Johann Gutenberg di Mainz[31]
bereksperimen dengan keeping-keping cetakan logam yang dapat
dipindah-pindahkan. Dengan menyusun buku dalam cetakan timah, ia dapat
menghasilkan salinan dalam jumlah yang besar, dengan jumlah dana yang jauh
lebih kecil dari pada salinan tangan. Pada tahun 1456 Gutenberg mencetak 200
salinan Alkitab Hieronimus, Vulgata[32]
dan pada saat itulah lahir Alkitab cetak yang pertama. Dan karena percetakan
ini semakin berkembang ke depan turut melancarkan agenda reformasi oleh Marthin
Luther pada tahun 1517.
Kita melihat bagaimana
teknologi dimanfaatkan demi penyebaran firman Tuhan sehingga sampai kepada
seluruh penjuru dan semua orang mendengarkan kabar baik. Begitu juga dengan era
Revolusi Industri Keempat boleh dimanfaatkan untuk penyebaran firman Tuhan.
Revolusi Teknologi modern melahirkan budaya digital, yakni kecanggihan
kontemporer teknologi informasi dan komunikasi dan dampaknya baik terhadap
pengumpulan dan proses informasi maupun interaksi, pandangan dunia keyakinan dan
pendapat orang. Gereja dan orang Kristen pribadi perlu merespon perkembangan
ini untuk dapat tetap menjalankan panggilan kesaksian dan pelayanannya, juga
melalui teknologi digital. Gereja juga perlu meningkatkan kreativitas dalam
pelayanan digital, seperti membuat video-video pendek yang dapat disebarluaskan
lewat You Tube, misalnya, agar dapat menjangkau kalangan milenial. Hal-hal yang
lebih teknis, misalnya penggunaan Alkitab digital atau buku nyanyian digital
dalam ibadah, perlu pengarahan pimpinan gereja supaya mendukung ibadah.[33]
3. Apa yang dapat
dilakukan oleh Gereja?
Dalam kondisi seperti
ini, gereja dihadapkan pada peluang sekaligus tatangan. Perkembangan inovasi
teknologi informasi dan komunikasi dapat dimanfaatkan dalam mempermudah dan
mengefektifkan pelayanan gereja. Gereja dapat menggunakan semua media yang
berbasis internet sebagai sarana untuk menyediakan informasi, pengembangan website gereja untuk memberikan
informasi mengenai kegiatan-kegiatan gereja, informasi yang lebih cepat dengan
jangkauan yang lebih mudah diperoleh jemaat sepanjang terkoneksi dengan
internet. Selain itu dengan adanya teknologi, gereja dapat mengembangkan
media-media digital yang efektif untuk mengabarkan Injil dan memberitakan
firman Tuhan untuk memperkuat pertumbuhan iman jemaat. Teknologi juga membuka
peluang untuk mengembangkan tata cara ibadah yang lebih variatif dan inovatif
dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang tersedia.[34]
Gereja juga
diperhadapkan dengan tantangan perubahan perilaku masyarakat (jemaat), ada
kecenderungan jemaat saat ini lebih mengharapkan sesuatu yang instan dan
mengabaikan proses, lebih individual dengan hanya berfokus pada gadgetnya dan
perilaku relasi yang sangat mekanistis. Santoso menggarisbawahi bahwa
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa dampak negatif seperti
mengganggu jemaat saat beribadah/ bersekutu, membatasi komunikasi atau hubungan
muka dengan muka sesungguhnya dan mengabaikan emosi saat beribadah.[35]
Bagi banyak warga
masyarakat perubahan yang begitu cepat ini sering disertai lompatan yang cukup
besar dan yang pada gilirannya menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian. Hal
ini semakin memperhadapkan kita dengan tantangan-tantangan yang berat dan
kompleks. Di tengah perkembangan ini pertanyaan pemazmur relevan kita
renungkan: siapakah manusia di tengah ciptaanNya dan di tengah perkembangan
tehnologi yang begitu dahsyat? Di era digital ini, gereja perlu mendampingi
warganya mengembangkan etika menggunakan media sosial.[36]
Kesimpulan
Gereja ada di dalam dunia,
tetapi tidak berasal dari dunia. Secara faktual gereja ada di dalam dunia,
bersama-sama dengan dunia, bahkan nasib gereja juga ikut ditentukan oleh dunia
di mana ia berada. Namun pada saat yang sama ia tidak berasal dari dunia
melainkan dari Allah. Istilah ini dapat mengambarkan bagaimana gereja harus
memberikan dampak atau respon terhadap perkembangan era Revolusi Industri
Keempat. Gereja hadir di dunia ini di tengah perkembangan yang sangat pesat,
era Revolusi Industri Keempat. Perkembangan ini tidak dapat dicegah oleh
siapapun, termasuk gereja sendiri. Karena itu gereja harus memberikan sikap
yang jelas. Secara umum sikap gereja dapat dikategorikan kepada menolak dan
menerima dengan waspada.
Gereja dapat menerima
atau bahkan harus menerima perkembangan yang ada dan memanfaatkannya untuk
pekabaran Injil, keefektifan pelayanan peribadatan dan kemudahan kehidupan
begereja. Dengan pesatnya perkembangan internet, gadget dan media sosial yang hampir dimiliki oleh setiap individu,
termasuk warga gereja, maka tidak mungkin tidak gereja dapat memanfaatkannya untuk
memberitakan firman Tuhan.
Di sisi lain
kecanggihan teknologi tidak selamanya membawa dampak positif, tetapi juga
dampak negatif. Sebenarnya kurang tepat apabila kita menyalahkan teknologinya,
tetapi yang salah adalah orang yang menggunakannya. Pada dasarnya semua
teknologi yang diciptakan itu adalah demi kebaikan dan demi membantu kemudahan
pekerjaan manusia. Namun ada saja manusia atau oknum yang menyalahgunakan demi
kepentingan pribadi dan merugikan orang lain. Saat ini sangat laris dipasaran
berita bohong (hoax) dan kekerasan
berbasis digital. Di samping itu ada kecenderungan keberdosaan dalam diri
manusia, karena itu segala produk yang diciptakan akan selalu ada kelemahannya.
Kecerdasan buatan yang dibuat oleh manusia itu sendiri, perlahan namun pasti
menggeser eksistensi manusia dalam pekerjaan, sehingga akan semakin banyak
pengangguran, belum lagi keburukan yang lain.
Menanggapi hal-hal
tersebut gereja harus menyatakan sikap, yang pasti tidak ada tempat bagi dosa.
Kesaksian iman dalam Wahyu 22 menyaksikan bahwa Allah lah Alfa dan Omega, Yang
Awal dan Yang Akhir (ayat 13). Dalam godaan yang begitu banyak di era disrupsi
ini harus selalu dihayati keberimanan bahwa Allah adalah Alfa dan Omega. Segala
kecanggihan dan keunggulan teknologi hanya bersifat sementara dan bahkan
merongrongi kehidupan manusia, sehingga nyatalah era disrupsi. Gereja harus
selalu waspada untuk tetap menjaga diri, karena itu gereja perlu mengadakan
pelatihan-pelatihan yang sifatnya memboboti para warga gereja agar bijak
bermedia sosial dan mendorong gereja agar dapat melakukan pemberitaan firman
Tuhan dengan media di era Revolusi Industri Keempat. Amin.
Daftar
Pustaka
Sumber Buku
Bagi
Tuhan Jangan Ditunda: Teks Kehidupan Gereja di Sumba,
Salatiga: Satya Wacana University Press, 2019.
Curtis, A. Kenneth, Lang, J.
Stephen dan Petersen, Randy, 100 Peristiwa
Penting dalam Sejarah Kristen, Jakarta: Gunung Mulia, 2016.
Dari
Gunung Sitoli ke Waingapu: Catatan Perjalanan Pelayanan PGI 2014-2019,
Jakarta: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 2019.
Draft/
Usulan Dokumen Keesaan Gereja 2019-2024 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, tidak diterbitkan.
Gereja
Kristen Sumba Hadir dan Melayani: Sejarah, Tantangan dan Peluang Pelayanan,
Jakarta: Gunung Mulia, 2019.
Himpunan
Keputusan dan Notulen Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja
di Indonesia, Jakarta: Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia, 2019.
Kraybill, Donald B., Kerajaan yang Sungsang, Jakarta: Gunung
Mulia, 2018.
McGrath, Alister E., Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta:
Gunung Mulia, 2016.
Pratama, Hellen Chou, Cyber Smart Parenting, Bandung: Visi
Anugerah Indonesia, 2012.
Savitri, Astrid, Revolusi Industri 4.0: Mengubah Tantangan
Menjadi Peluang di Era Disrupsi 4.0, Yogyakarta: Genesis, 2019.
Tapscott, Don, Grown Up Digital: yang Muda yang Menngubah Dunia, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2013.
Warga
Gereja Merespon Revolusi Media Sosial: Panduan Bermedia Sosial, Jakarta: Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia, 2018.
Yewangoe, A. A., Allah Mengizinkan Manusia Mengalami
Diri-Nya: Pengalaman dengan Allah dalam Konteks Indonesia yang Berpancasila,
Jakarta: Gunung Mulia, 2018.
Sumber Jurnal
Banawiratma, J. B., Sepuluh Agenda
Pembentukan Persekutuan Jemaat-jemaat Kontekstual dan Berteologi Kontekstual,
dalam Setia Nomor 1/ Tahun 2002 Pustaka
Missionalia Candraditya No. 7: Mengupayakan Kurikulum Teologi yang Kontekstual
di Indonesia, Jakarta dan Maumere: Persetia dan Pustaka Missionalia
Candraditya, 2002.
Sumber Bahan Seminar
Yewangoe, Andreas A., Bersama Seluruh Warga Bangsa Gereja
Memperkokoh NKRI yang Demokratis, Adil dan Sejahtera Bagi Semua Ciptaan
Berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, bahan seminar Sidang Raya XVII PGI.
Hutabarat Lebang, Henriette, Aku adalah Yang Awal dan Akhir (Wah. 22:13),
bahan seminar Sidang Raya XVII PGI.
Sumber Internet
Disrupsi diakses dari KBBI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/disrupsihttps://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/disrupsi,
pada 1 Desember 2019 pukul 17.45.
Yusuf, Dari Bonus Demografi, Digital Talent
Scholarship, Hingga Palapa Ring, diakses dari https://www.kominfo.go.id/content/detail/16370/dar-bonus-demografi-digital-talent-scholarship-hingga-palapa-ring/0/artikel/,
pada 1 Desember 2019 pukul 17.00.
[1] Astrid Savitri, Revolusi Industri 4.0: Mengubah Tantangan
Menjadi Peluang di Era Disrupsi 4.0, (Yogyakarta: Genesis, 2019), 63-66.
[2] Ibid, v-vi.
[3] Astrid Savitri, Revolusi, 125-126.
[4] A. A. Yewangoe, Allah Mengizinkan Manusia Mengalami
Diri-Nya: Pengalaman dengan Allah dalam Konteks Indonesia yang Berpancasila,
(Jakarta: Gunung Mulia, 2018), 277-280.
[5] Warga Gereja Merespon Revolusi Media Sosial: Panduan Bermedia Sosial, (Jakarta: Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia, 2018), ii.
[6] Astrid Savitri, Revolusi, 125-126.
[7] Ibid, 127-129.
[8] Astrid Savitri, Revolusi, 132-134.
[9] Ibid, 69-70.
[10]
Ibid, 129-130.
[11] Warga Gereja, ii.
[12] Himpunan Keputusan dan Notulen Sidang Majelis Pekerja Lengkap
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, (Jakarta: Persekutuan Gereja-gereja
di Indonesia, 2019), 47.
[13] Dari Gunung Sitoli ke Waingapu: Catatan Perjalanan Pelayanan PGI
2014-2019, (Jakarta: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 2019), 255.
[14] A. A. Yewangoe, Allah, 277-280.
[15] Himpunan, 62.
[16] Disrupsi = hal tercabut dari
akarnya. Disrupsi diakses dari KBBI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/disrupsihttps://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/disrupsi, pada 1 Desember 2019 pukul
17.45.
[17] Gereja Kristen Sumba Hadir dan Melayani: Sejarah, Tantangan dan Peluang
Pelayanan, (Jakarta: Gunung Mulia, 2019), 59-60.
[18] Lihat misalnya versi Don
Tapscott, ia menyebutkan bahwa generasi terdiri dari:
-
The
Baby Boom (1946-1964)
-
Generasi
X-The Baby Bust (1965-1976)
-
Generasi
Y-Milenial (1977-1997)
-
Generasi
Z (1998-10 tahun)
Lihat lebih lengkap dalam Don
Tapscott, Grown Up Digital: yang Muda
yang Menngubah Dunia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), 18-25.
[19] Yustiwati Angu Bima, Teori
Generasi Sebagai Upaya Peningkatan PAK dan PWG dalam Tinjauan Pendidikan
Kristen-GKS di Era Milenial, dalam Bagi
Tuhan Jangan Ditunda: Teks Kehidupan Gereja di Sumba, (Salatiga: Satya
Wacana University Press, 2019), 190-192.
[20] Gereja Kristen, 63.
[21] Hellen Chou Pratama,Cyber Smart Parenting, (Bandung: Visi
Anugerah Indonesia, 2012), 34-35.
[22] Don Tapscott, Grown Up, 27-28.
[23] Yusuf, Dari Bonus Demografi,
Digital Talent Scholarship, Hingga Palapa Ring, diakses dari https://www.kominfo.go.id/content/detail/16370/dar-bonus-demografi-digital-talent-scholarship-hingga-palapa-ring/0/artikel/, pada 1 Desember 2019 pukul
17.00.
[24] Gereja Kristen, 63-64.
[25] J. B. Banawiratma, Sepuluh
Agenda Pembentukan Persekutuan Jemaat-jemaat Kontekstual dan Berteologi
Kontekstual, dalam Setia Nomor 1/ Tahun
2002 Pustaka Missionalia Candraditya No. 7: Mengupayakan Kurikulum Teologi yang
Kontekstual di Indonesia, (Jakarta dan Maumere: Persetia dan Pustaka
Missionalia Candraditya, 2002), 34.
[26] Gereja Kristen, 59.
[27] Henriette Hutabarat Lebang, Aku adalah Yang Awal dan Akhir (Wah. 22:13),
bahan seminar Sidang Raya XVII PGI.
[28] Andreas A. Yewangoe, Bersama Seluruh Warga Bangsa Gereja
Memperkokoh NKRI yang Demokratis, Adil dan Sejahtera Bagi Semua Ciptaan
Berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, bahan seminar Sidang Raya XVII PGI.
[29] Henriette Hutabarat Lebang, Aku adalah Yang Awal dan Akhir (Wah. 22:13),
bahan seminar Sidang Raya XVII PGI.
[30] Donald B. Kraybill, Kerajaan yang Sungsang, (Jakarta:
Gunung Mulia, 2018), x.
[31] Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta: Gunung
Mulia, 2016), 15.
[32] A. Kenneth Curtis, J. Stephen
Lang dan Randy Petersen, 100 Peristiwa
Penting dalam Sejarah Kristen, (Jakarta: Gunung Mulia, 2016), 70.
[33] Draft/ Usulan Dokumen Keesaan Gereja 2019-2024 Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia, (tidak
diterbitkan), 169-170.
[34] Gereja Kristen, 59-60.
[35] Ibid, 60-61.
[36] Himpunan, 175.
Posting Komentar