wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t
Bookmark

Teologi Kontekstual dalam Menghadapi Era Revolusi Keempat (Revolusi Industri 4.0)

Teologi Kontekstual dalam Menghadapi Era Revolusi Keempat

 

Teologi Kontekstual dalam Menghadapi Era Revolusi Keempat (Revolusi Industri 4.0)
Teologi Kontekstual dalam Menghadapi Era Revolusi Keempat (Revolusi Industri 4.0)

Pendahuluan

Dunia kini sudah diperkenalkan dengan era baru, yaitu era Revolusi Industri Keempat. Revolusi Industri selalu ditandai dengan perubahan besar yang mempengaruhi kehidupan manusia, karena itulah disebut sebagai revolusi. Hingga kini telah ada setidaknya lima fase Revolusi Industri, Revolusi Industri pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima. Namun secara umum Revolusi Industri yang sedang berjalan di Indonesia adalah Revolusi Industri yang Keempat. Revolusi Industri ini ditandai dengan kecepatan jaringan dan interkoneksi di segala lini kehidupan. Di Indonesia sendiri sedang berkembang pesat penggunaan internet dalam segala kehidupan, ditandai dengan hadirnya start up yang berbasis kebutuhan manusia, meliputi belanja, transportasi, pendidikan dan lain sebagainya.

Perkembangan ini sangat memudahkan kehidupan manusia di segala bidang. Sehingga sangat membantu efisiensi dan efektifitas dalam pengerjaan sesuatu. Gereja tumbuh dan berkembang di Indonesia yang saat ini sedang dalam mesra-mesranya dengan teknologi Revolusi Industri Keempat. Secara perlahan mulai disadari, sama seperti teknologi lainnya ternyata era Revolusi Industri Keempat ini bukan hanya membawa dampak positif, namun juga berdampak negatif. Dengan dimungkinkannya komunikasi yang sangat cepat menimbulkan menjamurnya penyebaran berita bohong (hoax) di media sosial, terancamnya lapangan pekerjaan, meningkatnya diskriminasi sosial, adanya siber bulli dan dampak negatif lainnya, karena itu di era ini sering juga disebut sebagai era disrupsi (penurunan nilai-nilai). Selaku gereja yang ditempatkan di bumi Indonesia, gereja harus selalu menyadari panggilannya untuk selalu menjadi garam dan terang di tengah-tengah dunia ini. Bagaimanakah gereja dapat menjawab persoalan yang ada ini? Bagaimana gereja dapat menggarami di tengah-tengah era disrupsi ini? Karena itu perlu suatu kajian teologi agar gereja dapat merespon dan memberikan feed back positif terhadap permasalahan-permasalahan yang ada. Pada tulisan ini akan didalami bagaimana suatu teologi yang kontekstual dari perspektif Perjanjian Baru untuk menghadapi era Revolusi Industri Keempat.

 

Sekilas tentang Revolusi Industri Keempat

Saat ini kita berada ditengah-tengah Revolusi 4.0. Pemicuya adalah penyebaran global internet dan teknologi baru seperti sensor nirkabel serta kecerdasan buatan (Artificial Intelligence (AI)). Seperti pendahulunya Industri 4.0 akan secara radikal mengubah cara manusia hidup dan bekerja.[1]

Revolusi Industri keempat atau lebih dikenal dengan istilah Revolusi Industri 4.0 atau dikenal juga dengan Fourth Industrial Revolution (4IR) merupakan era Industri Keempat sejak Revolusi Industri Pertama pada abad ke-18. Era 4IR ditandai dengan perpaduan teknologi yang mengaburkan batas antara fisik, digital dan biologis atau secara kolektif disebut sebagai sistem siber-fisik (cyber-physical system/ CPS). Era ini juga ditandai dengan munculnya terobosan teknologi di sejumlah bidang. Bidang-bidang yang dimaksud meliputi bidang robotika, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/ AI), nanoteknologi, komputasi kuantum (quantum computting), bioteknologi, Internet of Things (IoT), Industrial Internet of Things (IIoT), teknologi nirkabel generasi kelima (5G), aditif manufaktur/ pencetakan 3D dan industri kendaraan otonomi penuh (fully autonomous vechiles). Besarnya jangkauan perubahan ini menandai transformasi seluruh sistem produksi, manajemen dan pemerintahan.[2]

Revolusi Industri Keempat dibangun di atas revolusi digital, mewakili cara-cara baru ketika teknologi menjadi tertanam dalam masyarakat dan bahkan tubuh manusia. Revolusi ini berbeda dari tiga revolusi sebelumnya. Dasar yang mendasari 4IR terletak pada kemajuan dalam komunikasi dan keterhubungan dibandingkan teknologi.

Prasa Revolusi Industri Keempat pertama kali diciptakan oleh Schwab pada tahun 2016 dan diperkenalkan pada tahun yang sama di World Economic Forum. Revolusi Industri Keempat adalah lingkungan kita dan terus berkembang. Teknologi dan tren dalam era 4IR akan mengubah cara kita hidup dan bekerja. Tenaga uap, listrik dan komputasi masing-masing telah merevolusi cara kita hidup dan bekerja. Dahulu lompatan raksasa berupa alat tenun, bola lampu dan komputer mainframe, maka hari ini gilliran internet. Sejak diciptakan pada tahun 1980-an, World Wide Web telah berkembang dengan laju yang eksplosif dan sekarang dapat melakukan lebih dari sekedar membantu orang berbagi informasi. Di era ini, web sedang berkembang memajukan orang, bisnis, mesin dan logistic ke dalam Internet of Things (IoT).

 

Dampak Revolusi Industri Keempat

1.      Adanya Kampung Siber

Dengan adanya Revolusi Industri Keempat yang mengunggulkan interkoneksi di segala bidang maka salah satu yang sangat berubah dalam kehidupan manusia saat ini adalah cara manusia berkomunikasi. Komunikasi tidak lagi dilakukan secara konvensional, namun sudah dengan cara modern dengan menggunakan teknologi. Salah satu yang berkembang saat ini adalah penggunaan media sosial sebagai alat komunikasi. Saat ini rata-rata di antara kita menggunakan hand phone dengan aplikasi-aplikasi alat komunikasi terkenal, seperti Facebook, Whatsapp, Instagram dan lain sebagainya. Hal ini mengakibatkan adanya revolusi media sosial, contohnya, diwujudkan oleh Facebook, Twitter dan Tencent dan memberikan pengaruh pada semua orang. Selain itu cara manusia berkomunikasi secara langsung diseluruh planet ini berubah. Saat ini, lebih dari 30% penduduk dunia menggunakan layanan media sosial untuk berkomunikasi dan agar tetap update dengan berbagai peristiwa dunia.[3] Media massa adalah wujud informasi yang semakin maju. Dewasa ini peralatan-peralatan komunikasi makin kecil dan makin mungil, tetapi pada saat yang sama makin canggih. Segala sesuatu bisa diselesaikan dari atas telapak tangan. Kemajuan internet, Facebook, Twitter dan seterusnya tidak terbayangkan pada 50 tahun lalu. Sekarang hampir setiap orang mempunyai alat-alat komunikasi mulai dari yang sederhana hingga yang canggih. Kemajuan ini merupakan suatu berkat. Manusia bisa memiliki kesatuan di seluruh dunia melalui alat-alat komunikasi yang canggih tersebut. Siapapun di dunia ini bisa dikontak dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Jarak menjadi sangat dekat, sedekat pijatan jari ke atas tombol-tombol. Bahkan, orang-orang sekarang mempunyai kebiasaan untuk melakukan “siaran langsung” kendati yang disiarkan itu tidak selalu penting dan mendesak, malahan ada yang tidak penting sama sekali dan waktu pun nyaris nol.[4]

Inovasi ini menciptakan lingkungan global atau kampong global (global village), meminjam istilah Marshall McLuhan,[5] yang sebenarnya dan membawa milyaran orang masuk ke dalam ekonomi global. Layanan belanja dan pengiriman online, termasuk yang menggunakan drone membentuk ulang pemahaman akan kenyamanan dan pengalaman ritel. Kemudahan pengiriman mengubah masyarakat, bahkan yang tinggal di tempat-tempat terpencil dan memacu ekonomi pedesaan atau daerah terpencil.[6]

Media sosial dapat menghapus batas dan menyatukan setiap orang, akan tetapi pada waktu bersamaan juga dapat mengintensifkan kesenjangan sosial. Keadaan ini memberi kesempatan luas bagi persekusi siber (cyber bullying), ujaran kebencian (hate speech) dan penyebaran berita bohong (hoax).[7]

Di sisi lain kita hidup di dunia tempat informasi pribadi setiap individu bisa dilacak dan digunakan sebagai kunci utama untuk memberikan layanan yang lebih cerdas dan personal. Sebagai contoh:

-         Facebook melacak apa yang kita lakukan sehingga bisa mengetahui konten dan iklan mana yang paling relevan bagi kita.

-         Ponsel cerdas melacak lokasi kita dan kita dapat memberikan informasi itu dengan aplikasi untuk merekomendasikan tempat makan atau berbelanja.

-         Penjual menganalisis riwayat pembelian kita untuk merekomendasikan produk dan menawarkan diskon agar dapat meningkatkan penjualan.

Teknologi semacam itu memang dapat membuat kita merasa lebih aman, akan tetapi bisa juga mengawasi kita saat kita tidak menginginkannya.[8]

 

2.      Risiko Siber (cyber risk)

Dalam konektifitas yang dimungkinkan di era Revolusi Industri 4.0 akan semakin marak tindakan peretasan.[9]

 

3.      Risiko Talenta

Revolusi Industri 4.0 kemungkinan akan mendorong perubahannya sendiri terhadap tenaga kerja. Yang pasti adalah kebutuhan atas sumber daya manusia (SDM) dengan keterampilan khusus yang sejalan dengan Industri 4.0 juga akan mengalami peningkatan.

Kecerdasan buatan menciptakan tingkat produktifitas baru dan meningkatkan kehidupan melalui banyak cara. Namun hal ini dapat menjadi kekuatan yang mengganggu, menggusur manusia dari pekerjaan dan memunculkan pertanyaan mengenai hubungan antara manusia dan mesin.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pekerjaan manusia akan terpengaruh karena kecerdasan buatan mengotomatiskan berbagai tugas. Namun, seperti yang dilakukan internet 20 tahun lalu revolusi kecerdasan buatan akan mengubah banyak pekerjaan dan pada saat bersamaan menelurkan jenis pekerjaan baru yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, para pekerja yang berpendidikan rendah dan memiliki sedikit keterampilan berada dalam posisi yang kurang menguntungkan sejalan dengan berlangsungnnya Revolusi Industri Keempat.[10]

 

4.      Dampak Negatif

Kehadiran dari Revolsi Industri 4.0 tidak selamanya membawa perubahan yang positif di dalam kehidupan manusia. Namun sebagaimana setiap perkembangan teknologi, ia ibarat pedang bermata dua: satu sisi berdampak positif, di sisi lain juga berdampak negatif.[11] Sebagai contoh, di masa sekarang ini uang adalah sesuatu yang sangat berharga, sampai-sampai banyak orang yang melupakan waktu demi uang daripada waktu bersama keluarga. Apabila kita lebih menghargai uang daripada waktu bersama keluarga, kita dapat membangun teknologi yang membantu kita menghasilkan uang dengan mengorbankan waktu bersama keluarga. Kecerdasan buatan, robotik, bioteknologi, alat pemograman dan teknologi lainnya bisa saja digunakan untuk membuat dan menyebar luaskan persenjataan.

Masyarakat memasuki perubahan yang sangat cepat dan kompleks di bidang teknologi infomasi dan komunikasi (Revolusi Industri 4.0). Hal ini menciptakan perubahan mendasar di dalam segala bidang kehidupan. Misalnya: hilangnya ratusan ribu jenis pekerjaan karena adanya perkembangan teknologi digital. Dalam konteks ini ada tiga hal besar yang berubah: gaya hidup, gaya berelasi dan gaya bekerja. Bila kita tidak mempersiapkan diri, keluarga, warga gereja dan bangsa di dalam menghadapi perubahan-perubahan mendasar ini, maka peran dan relasi antar manusia akan semakin terpinggirkan dan dapat menciptakan frustrasi sosial.[12]

Media massa merupakan salah satu yang sangat maju saat ini, akan tetapi, pada saat yang sama kemajuan ini juga bisa menjadi kutuk. Dalam hal ini terjadi sebuah paradoks, di mana saat teknologi mempersatukan manusia dan bahkan menghilangkan jarak, tetapi di saat yang sama pula bisa membuat orang teralienasi/ terasing dari sesamanya, terjadi sebuah kecenderungan manusia tidak lagi mengadakan komunikasi dengan sesama yang disekitarnya, tetapi berkomunikasi dengan menggunakan alat-alat. Apabila ada kesempatan orang sibuk dengan Facebook, Twitter atau media sosial yang lainnya melalui HP masing-masing tanpa perduli dengan orang di sekitarnya. Kesulitan yang kita hadapi sekarang adalah, begitu massalnya berita hoax. Semua warga dapat memproduksi konten media sebagai sesuatu hal yang diperjuangkan dalam kebebasan berekspresi. Sayangnya kebebasan itu dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menyebarkan paham yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Isu suku, agama dan ras menjadi isu yang dibawa ke dalam perdebatan di media sosial.[13] Hampir-hampir sulit membedakan, manakah berita yang sejati dan mana berita palsu. Sekarang ini sangat sering orang merekayasa realitas, apalagi kalau muatan politiknya begitu kental, akan semakin sulit untuk membedah berita-berita tersebut.

Saat ini juga teknik menyunting foto sangat canggih sehingga mendekati kenyataan sebenarnya, sehingga sangat dimungkinkan untuk mengadakan penipuan, seperti gambar bapak presiden Jokowi yang dituduh terlibat bersama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pertanyaan yang sangat mendesak untuk dihadapi saat ini adalah bagaimanakah kita bisa membedakan antara berita sejati dan berita hoax, antara relitas sejati dan realitas alternatif? Bayangkan saja apabila alat-alat komunikasi dikuasai oleh kaum radikal yang kecendrungannya adalah menerapkan budaya kekerasan. Betapa berbahayanya bagi negara ini dan betapa  tragisnya bagi umat manusia.[14]

Apabila dikategorikan maka Revolusi Industri Keempat ini membawa pengaruh:[15]

-         Hedonisme

-         Konsumerisme

-         No mobile phobia (nomophobia): kecanduan gadget

-         Bhuphing: yang dekat menjauh

Secara tidak sadar, namun secara pasti era ini juga turut mengakibatkan terjadinya penurunan nilai-nilai, karena itu era ini disebut jugas sebagi era disrupsi[16] dan penuh ketidakpastian. Disrupsi terjadi karena teknologi yang semakin canggih, politikal-legal yang semakin tidak menentu, ekonomi yang kian tidak terprediksi dan bahkan sosial-budaya yang kompleks. Pada era disrupsi ini, inovasi bergerak sangat cepat dan dinamis, serta semua serba terkoneksi, sehingga era ini dikatakan sebagai era koneksi internet adalah segalanya, suatu era yang menghantarkan manusia memasuki gaya hidup baru yang tidak bisa dilepaskan dari perangkat yang serba elektronik.[17]

 

Era Revolusi Industri Keempat dengan Teori Generasi

Salah satu teori yang sering dikaitkan dengan Revolusi Industri Keempat adalah tentang teori generasi. Teori ini sangat penting dan sangat membantu kita untuk semakin memahami secara holistik Revolusi Industri Keempat. Pada tahun 1928 Karl Manheim mengembangkkan sebuah teori generasi. Pengelompokan generasi di dalam populasi didasarkan pada pengalaman atau peristiwa besar yang terjadi, bukan secara kelas sosial maupun geografi. Ia mengembangkan karakteristik kelompok generasi yaitu dengan kepribadian, nilai kerja, sikap dan motivasi hidup. Kemudian Brosdahl dan Carpenter meneruskan teori ini dengan membuat pengelompokkan generasi dan membaginya menjadi 6 kategori, yaitu generasi World War II (1901-1924), generasi silent (1925-1945), generasi baby boomer (1946-1964), generasi X (1965-1980), generasi Y (millennial) (1981-2003) dan generasi Z (alpha) (2003-sekarang). Meski kemudian muncul beberapa versi lain[18] terkait pembagian kategori ini namun tulisan ini hanya akan berfokus pada pengelompokkan Brosdahl dan Carpenter. Berikut adalah ciri-ciri setiap kategori generasi:

1.      Generasi World War II (WWII) (1901-1924) adalah generasi yang lahir dan hidup selama masa perang dunia kedua.

2.      Generasi silent (1925-1945) adalah generasi yang hidup dan lahir setelah perang dunia kedua. Di juluki 'silent' atau diam, tenang sebab generasi ini masih berada dalam trauma kolektif dan depresi yang sangat berat akibat perang dunia tersebut. Generasi ini berfokus pada penyembuhan psikologis dan pembangunan wilayah jajahan serta negara.

3.      Generasi baby boomer (1946-1964) adalah generasi yang hidup dan lahir setelah melewati masa 'silent'. Generasi ini telah bangkit dari depresi yang dialami generasi silent. Sehingga pada periode ini terjadilah ledakkan penduduk di bumi, di mana banyak negera di bumi yang bangkit dari perang dan telah membangun kota kemudian membangun kependudukan dengan tidak membatasi kelahiran.

4.      Generasi X (1965-1980) generasi ini sebagian besarnya merupakan anak-anak dari generasi boomer. Generasi X adalah generasi yang angka kelahirannya dibatasi oleh alat-alat kontrasepsi. Pengurangan terhadap angka kelahiran membuat generasi ini mulai berfokus pada pendidikan dan pekerjaan. Kemajuan IPTEK mulai digagas generasi ini.

5.      Generasi Y (1981-2003) adalah generasi yang lebih sering Kita kenal dengan julukan generasi millenial. Generasi ini merupakan anak dari generasi X dan adalah penerus kemajuan IPTEK sekaligus pengguna teknologi. Generasi meningkatkan IPTEK dengan inovasi dan kreativitas yang belum pernah terprediksikan sebelumnya. Saat ini generasi Y adalah mereka yang mendominasi dunia kerja. mereka bekerja menggunakan teknologi canggih dan sering kali menyukai kemandirian dalam membangun usaha.

6.      Generasi Z (2003-sekarang) generasi ini sebagiannya merupakan anak dari generasi X namun sebagiannya merupakan anak dari generasi Y. Mereka adalah yang saat ini kita jumpai di perguruan tinggi hingga yang masih akan dilahirkan. Ada juga yang menyebut kategori ini sebagai generasi Alpha. Generasi ini adalah, 100% pengguna teknologi informasi dan komunikasi sehingga julukan lain bagi mereka adalah i'generation yaitu generasi internet.[19]

Teori generasi di atas menunjukkan kepada kita bagaimana generasi-genarasi yang ada mendominasi era ini. Secara generasi yang paling banyak mendominasi era ini adalah generasi Y dan disusul oleh generasi Z, mungkin masih ada generasi sebelumnya, tetapi hanya beberapa saja dan tidak terlalu mendominasi era ini. Generasi Y atau generasi milenial adalah mereka-mereka yang melek teknologi, generasi yang fasih teknologi, kreatif, informatif, memiliki passion dan produktif. Generasi ini memiliki minat yang tinggi terhadap pendidikan dan memiliki pola pikir yang terbuka, bebas, kritis dan berani. Selain itu, mereka adaptif dengan perubahan lingkungan.[20] Dengan demikian kemajuan berkembang sangat pesat dan saat ini mereka memang mendominasi pasaran, kita akan menemui segala produk-produk yang memudahkan kita di dalam kehidupan kita, kita menemui beberapa aplikasi yang dibuat oleh orang-orang yang lahir di generasi milenial, seperti Gojek, Bukalapak, Tokopedia dan lain sebagainya.

Di sisi lain kita menemui bahwa lahir dan berkembangnya generasi X dan generasi Y beriringan dengan bertumbuhnya berbagai temuan dan inovasi teknologi digital. Sehingga pada tahap yang berkelanjutan generasi muda ini tumbuh dan berkembang degan sebuah ketergantungan yang besar pada teknologi digital, sehingga tidak mengherankan jika di usia yang sangat belia mereka telah menjadi begitu terampil dalam penguasaannya.[21] Bahkan Don Tapscott menyebutkan bahwa teknologi tidak ada bedanya dengan udara (nafas). Anak-anak generasi Y dan Z memandang bahwa teknologi hanyalah sebagai bagian dari lingkungan mereka dan mereka menyatukannya dengan segala sesuatu yang lain. Bagi banyak kalangan menggunakan teknologi sama dengan bernapas.[22] Apabila kita memandang hal ini, bisa sebagai dampak positif, sebab ketika anak dikembangkan dengan teknologi maka ia akan menjadi berpikiran maju dan kreatif, tetapi di sisi lain, diperhadapkan dengan keburukan yang dimuat di dalam internet atau gadget, bisa saja sejak dini sudah akan terpapar radikalisme, isu sara, dampak negatif pornografi dan lain sebagainya.

 

Era Revolusi Industri Keempat dan Bonus Demografi

Salah satu yang mendapat sorotan penting dalam perdiskusian tentang Revolusi Industri Keempat adalah Bonus Demografi. Tahun 2030 Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi.[23] Bonus Demografi hanya akan terjadi sekali dalam perjalanan sejarah bangsa. Bonus Demografi terjadi ketika proporsi jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) berada di atas 2/3 dari jumlah penduduk keseluruhan atau menurunnya angka ketergantungan atau menurunnya rasio perbandingan antara jumlah penduduk nonproduktif (-15 tahun dan +65 tahun) terhadap jumlah penduduk produktif (usia 15-64) atau yang disebut sebagai rasio ketergantungan. Apabila kita melihat hal ini maka di tahun 2030 yang akan mengisi sebagai usia produktif adalah generasi Y dan generasi Z. Dengan karakteristik generasi Y dan Z yang sangat melek teknologi dan memiliki daya kreativitas maka ada peluang besar yang perlu ditangkap dan dimanfaatkan secara maksimal oleh gereja. Dengan adanya bonus demografi, suplai atau ketersediaan sumber daya manusia produktif yang tinggi akan berakibat pada meningkatnya produktivitas ekonomi jemaat. Selain itu gereja dapat memanfaatkan sumber daya itu untuk perluasan jangkauan pelayanan.[24]

 

Teologi Kontekstual di Era Revolusi Industri 4.0

Dalam hal ini akan diupayakan untuk menemukan dan memadukan suatu teologi yang kontekstual di era Revolusi Industri Keempat. Kontekstualisasi dalam perspektif teologis adalah upaya jemaat beriman untuk menghayati Injil Kristus. Pada akhirnya ada dua konteks yang dituntut, konteks budaya jemaat dan konteks budaya Kitab Suci. Karena itu upaya kontekstualisasi selalu mencakup perjumpaan antarbudaya dan antarkonteks. Kontekstualisasi tidak pernah berarti mengisolasi jemaat dalam konteksnya sendiri, suatu hal yang mustahil dalam dunia kita sekarang. Setiap kebudayaan memiliki kekayaan dan batasnya. Melalui perjumpaan budaya, jemaat-jemaat dapat saling berbagi nilai-nilai. Nilai-nilai alkitabiah harus dijumpai melalui komunikasi kritis dan diwujudkan melalui proses kultural.[25] Dalam hal ini era Revolusi Industri 4.0 akan kita anggap sebagai budaya. Dianggap sebagai budaya karena telah menjadi kebiasaan dan telah diketahui oleh kalangan masyarakat luas. Budaya yang dimaksudkan adalah penggunaan terhadap teknologi Revolusi Industri 4.0.

1.      Konsep Aku Adalah Yang Awal dan Yang Akhir (Wah. 22:13) dalam Menghadapi Era Revolusi Industri Keempat

Dunia saat ini berkembang sangat cepat. Perkembangan yang sangat cepat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, bidang transportasi, telekomunikasi dan informasi tidak dapat dihindari oleh siapapun dan lembaga apapun, baik lembaga pemerintah, swasta, bisnis, maupun lembaga nirlaba, termasuk gereja.[26] Dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi komunikasi, kita memasuki era teknologi, yang sering disebut sebagai era Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan lahirnya era digital. Mereka yang lahir di tahun 1995 sudah sangat fasih menggunakan berbagai alat teknologi komunikasi yang canggih, secara simultan. Mereka adalah generasi “native digital”, lahir dan dibesarkan dengan teknologi yang canggih. Sekarang ini penggunaan komputer dan hand phone sudah secara massal. Tanpa komputer dan hand phone sepertinya kita tidak berfungsi lagi. Semua bisnis dilakukan dengan sistem online. Hal ini tentu mengakibatkan mereka yang tidak dapat mengikuti perkembangan bisa semakin tertinggal dan sulit melakukan peran strategisnya di dalam masyarakat. Kita berhadapan dengan kecerdasan buatan (AI). Singkatnya terjadi perubahan bahkan loncatan yang dahsyat yang acap tak dapat dikendalikan lagi oleh manusia. Peran manusia semakin digantikan oleh alat-alat modern bahkan robot. Relasi dan sentuhan manusiawi semakin tergeser oleh otomatisasi. Pertanyaan pokok yang muncul: bagaimanakah dengan masa depan kemanusiaan dan integritas ciptaan di planet ini?[27]

Yuval Noach Harari, Guru Besar Sejarah pada Hebrew University di Yerusalem berbicara tentang lompatan peradaban pada 2050 yang ditandai dengan "budaya digital" dan "artificial intelligence" (AI). Ia bahkan berbicara mengenai "kediktatoran dijital (digital dictatorship). Sekali AI membuat keputusan-keputusan yang lebih baik dari kita, mengenai karir dan mungkin juga relasi-relasi kita, kata Harari, maka konsepsi kita mengenai kemanusiaan dan kehidupan harus berubah. Biasanya kita berpikir mengenai kehidupan sebagai drama pengambilan keputusan-keputusan. Demokrasi (liberal) dan kapitalisme pasar bebas melihat individu sebagai agen-agen bebas yang mengambil keputusan mengenai nasib dunia ini. Tetapi ketika AI mendominasi, di mana ia misalnya menentukan bekerja di mana, menikah di mana dan dengan siapa, dan seterusnya, maka kehidupan manusia bakal berhenti menjadi drama pengambilan keputusan-keputusan. Keputusan-keputusan nanti akan sangat tergantung pada kerja AI tersebut. Yang dikatakan Harari ini perlu direnungkan ketika kita sedang berusaha mewujudkan masyarakat demokratis di mana prinsip-prinsip demokrasi diterapkan. Demikian juga di bidang ekonomi. Masihkah ada kemungkinan pengambilan keputusan-keputusan bebas ataukah kita nanti akan terperangkap dalam kehidupan yang sangat deterministik oleh Al? Masihkah nanti misalnya berbagai jenis pemilihan (pemilu, pilkada, pilpres) mempunyai makna signifikan?[28]

Di tengah persoalan yang semakin kompleks ini, kita dapat mengingat pesan ilahi “Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir" (Wah. 22:13). Seruan ini adalah pengakuan iman jemaat perdana. Pengharapan jemaat mula-mula ketika mengalami tekanan dan tindihan yang berat, seruan ini kembali diperdengarkan kepada kita, bahwa Allah tidak tidur. Dalam konteks nas ini ada tujuh jemaat perdana di Asia kecil, yang disapa, yakni: Efesus, Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelfia dan Laodikia (pasal 2-3). Mereka mengalami penganiayaan yang hebat di bawah kekaisaran romawi menjelang akhir abad pertama. Mereka dipaksa memuja kaisar dan memberi pengakuan bahwa kaisar adalah tuhan mereka. Penolakan mereka mengakibatkan siksaan besar. Bahkan ada yang menjadi martir, dibunuh karena imannya kepada Kristus (17:6). Pada satu pihak, sikap yang baik, jerih payah dan ketekunan mereka, kesabaran dalam penderitaan yang telah mereka nampakkan, dihargai dan dipuji. Pada saat yang sama kekurangan dan dosa mereka pun ditegur. Kehidupan iman mereka yang suam-suam kuku, dan pengaruh godaan yang membuat mereka menyimpang dari kehendak Allah, juga dikritik. Jemaat-jemaat perdana itu menghadapi tantangan asimilasi dalam konteks masyarakat majemuk ketika itu, terutama berhadapan dengan praktik penyembahan berhala yang lazim dalam konteks masyarakat berlatar belakang Yahudi, Romawi dan Graeco Romawi. Orang Kristen bergumul menghadapi godaan dari sekitarnya, antara lain kebiasaan memakan persembahan berhala, praktik zinah dan ajaran sesat (jemaat Pergamus—2:14; jemaat Tiatira—2:20). Selain itu, sebagian dari mereka mengalami kemajuan ekonomi sehingga kekayaan dan sikap materialisme menjadi godaan yang besar bagi mereka (jemaat Laodikia 3:17-18). Kesenjangan sosial juga masih ada di antara jemaat-jemaat (jemaat Smirna yang miskin secara ekonomi - 2:9).

Penulis kitab Wahyu hendak menggambarkan realitas dunia yang diwarnai kejahatan dan kecemaran. Penglihatan yang dilihat Yohannes di surga, merupakan cerminan dari apa yang terjadi di dunia. Berbagai gambaran tentang binatang buas dan orang sundal merefleksikan bagaimana ketidakbenaran dan ketidakadilan merajalela, nampak dalam penyembahan berhala, kebohongan, kekerasan, kebejatan moral dan materialisme (17:1-6). Terkesan ada "feminisasi dosa," gambaran tentang "perempuan yang duduk di atas seekor binatang yang merah ungu, yang penuh tertulis dengan nama-nama hujat dan pada dahinya tertulis suatu nama, suatu rahasia: Babel besar, ibu dari wanita-wanita pelacur dan dari kekejian di bumi." Namun 18:3 menjelaskan dosa yang melanda semua, tanpa kecuali: "karena semua bangsa telah minum dari anggur hawa nafsu cabulnya dan raja-raja di bumi telah berbuat cabul dengan dia, dan pedagang-pedagang di bumi telah menjadi kaya oleh kelimpahan hawa nafsunya." Banyak berkeliaran mereka yang disebut oleh Yohannes sebagai "..anjing-anjing, tukang-tukang sihir, orang-orang sundal, orang-orang pembunuh penyembah-penyembah berhala dan orang-orang yang mencintai dusta" (22:15). Dosa ini menjauhkan mereka dari kota Allah, dari kehidupan yang sesungguhnya (21:27; 22:15). Ada baiknya kita berhenti sejenak dan merenungkan, apakah binatang buas dan orang sundal serupa juga ada di tengah kehidupan masyarakat kita bahkan dalam tubuh kita sebagai gereja Tuhan?

Kontras dengan keadaan itu, Allah dan Kristus memperlihatkan kehidupan yang benar dan adil (15:3-4 bdk. 19:11: "Lalu aku melihat sorga terbuka: sesungguhnya, ada seekor kuda putih; dan Ia yang menungganginya bernama: Yang Setia dan Yang Benar" Ia berperang dan menghakimi dengan adil.") Yang pasti, lewat nubuat dalam kitab Wahyu, manusia dihimbau untuk keluar dari Babel, meninggalkan kejahatan kota yang menghancurkan kehidupan (18:4-5). Kita dipanggil kepada pertobatan! Siapa yang bertelinga, hendaklah ia mendengar (2:7, 2:11, 2:17, 2:29, 3:6, 3:13, 3:22), demikian seruan Tuhan. "Berbahagialah mereka yang membasuh jubahnya. Mereka akan memperoleh hak atas pohon-pohon kehidupan dan masuk melalui pintu-pintu gerbang ke dalam kota itu." (22:15) Siapa yang melakukan hal-hal yang benar, mengikut jalan Allah dan Yesus, akan "mengenakan kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan putih bersih" (19:8). Mereka yang suci berhubungan dengan Allah yang suci (4:8; 6:10). Mereka menolak dosa, tidak mencemarkan dirinya (3:4; 14:4). Mereka ini mempunyai tempat dalam Yerusalem baru (21:2).

Betapapun kejahatan dan kecemaran menguasai realitas hidup, namun perubahan hidup dapat terjadi karena mengandalkan Allah dan karya Kristus yang menyelamatkan dunia ini. Ketidakbenaran, kebohongan dan kebejatan moral yang merajalela dapat diubah ketika kasih yang semula dapat bertumbuh kembali (2:4); kebenaran dan keadilan dapat mengalahkan kebejatan manusia. Tuhan akan memberikan kebaikan dan negeri kita akan memberikan hasilnya (bdk. Maz. 85:10-13). Hal ini hanya dimungkinkan karena Allah setia hadir dalam pergumulan dunia ini sejak awal penciptaan hingga kini bahkan dalam menyongsong langit dan bumi baru. "Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir" (22:13).

Janji ilahi, "Aku adalah Alfa dan Omega" membuat kita seharusnya tidak putus asa dalam perjuangan tetapi terus berpengharapan menyuarakan pesan-pesan kehidupan dan berbagi kehidupan karunia Allah dengan sesama dan segenap ciptaan.[29] Saat Revolusi Industri menawarkan segala kecanggihan dan kelebihannya bahkan bisa jadi suatu saat akan menyentuh tahap sebagai homo deus meminjam istilah Harari, manusia akan menganggap dirinya sebagai tuhan atas dirinya sendiri. Pengakuan dan penghayatan akan iman Allah sebagai Yang Awal dan Yang Akhir perlu untuk digumulkan dan dipegang selalu. Bahwa secanggih apapun teknologi dan kecerdasan buatan, Tuhan tetap sebagai Yang Awal dan Yang Akhir.

 

2. Pemanfaatan Media di Era Revolusi Industri Keempat untuk Pekabaran Injil

Tugas penginjilan tidak akan pernah lekang dari gereja. Ia harus selalu melakukan penginjilan di segala masa di mana ia berada. Yesus menitipkan Amanat Agung kepada para murid-Nya, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:19-20). Amanat Agung itu kini diwarisi oleh gereja. Yesus memberikan teladan yang sangat baik dalam melakukan penginjilan tersebut, Yesus sudah terlebih dahulu melakukannya. Yesus hadir di tengah-tengah kebudayaan dan tradisi Agama Yahudi. Budaya Yahudi dikenal dengan sistem Hukum Taurat yang sangat ketat dan sangat menguduskan bait Allah. Namun Yesus datang dengan cara yang baru yang tidak mengikuti hukum Yahudi, Ia tidak menggunakan Bait Allah untuk memberitakan Kerejaan Allah. Kerajaan Allah yang diberitakan oleh Yesus adalah suatu tatanan baru yang muncul sungsang di tengah-tengah budaya Palestina pada abad pertama.[30] Yesus menggunakan cara-cara baru dalam memberitakan Injil yang dinamis dan tidak kaku. Yesus melakukan pengkontekstualisasian dengan melakukan pemberitaan Kerajaan Allah di pinggir danau, di sungai Yordan, di bukit, di kapal dan di tempat lainnya.

Hal ini berlanjut kepada penginjilan yang dilakukan oleh Rasul Paulus. Paulus adalah Rasul yang paling terkenal di Perjanjian Baru, karena banyaknya karya tulisnya yang ia kirimkan kepada jemaat-jemaat. Paulus melakukan penginjilan dengan konteks budaya setempat. Ketika Rasul Paulus berkunjung ke orang-orang Atena, Yunani, ia melihat sebuah tulisan di sebuah mezbah “Kepada allah yang tidak dikenal” (Kis. 17:22-34), lalu Rasul Paulus memberikan pemahaman yang baru tentang Allah kepada mereka. Lalu saat Rasul Paulus berada di Korintus dan tinggal di rumah Akwila yang adalah seorang tukang kemah (Kis. 18:3), Paulus tidak mengikuti gengsi dan justru ikut bekerja bersama-sama dengan mereka.

Kita mengingat pada tahun 1440-an, Johann Gutenberg di Mainz[31] bereksperimen dengan keeping-keping cetakan logam yang dapat dipindah-pindahkan. Dengan menyusun buku dalam cetakan timah, ia dapat menghasilkan salinan dalam jumlah yang besar, dengan jumlah dana yang jauh lebih kecil dari pada salinan tangan. Pada tahun 1456 Gutenberg mencetak 200 salinan Alkitab Hieronimus, Vulgata[32] dan pada saat itulah lahir Alkitab cetak yang pertama. Dan karena percetakan ini semakin berkembang ke depan turut melancarkan agenda reformasi oleh Marthin Luther pada tahun 1517.

Kita melihat bagaimana teknologi dimanfaatkan demi penyebaran firman Tuhan sehingga sampai kepada seluruh penjuru dan semua orang mendengarkan kabar baik. Begitu juga dengan era Revolusi Industri Keempat boleh dimanfaatkan untuk penyebaran firman Tuhan. Revolusi Teknologi modern melahirkan budaya digital, yakni kecanggihan kontemporer teknologi informasi dan komunikasi dan dampaknya baik terhadap pengumpulan dan proses informasi maupun interaksi, pandangan dunia keyakinan dan pendapat orang. Gereja dan orang Kristen pribadi perlu merespon perkembangan ini untuk dapat tetap menjalankan panggilan kesaksian dan pelayanannya, juga melalui teknologi digital. Gereja juga perlu meningkatkan kreativitas dalam pelayanan digital, seperti membuat video-video pendek yang dapat disebarluaskan lewat You Tube, misalnya, agar dapat menjangkau kalangan milenial. Hal-hal yang lebih teknis, misalnya penggunaan Alkitab digital atau buku nyanyian digital dalam ibadah, perlu pengarahan pimpinan gereja supaya mendukung ibadah.[33]

 

3. Apa yang dapat dilakukan oleh Gereja?

Dalam kondisi seperti ini, gereja dihadapkan pada peluang sekaligus tatangan. Perkembangan inovasi teknologi informasi dan komunikasi dapat dimanfaatkan dalam mempermudah dan mengefektifkan pelayanan gereja. Gereja dapat menggunakan semua media yang berbasis internet sebagai sarana untuk menyediakan informasi, pengembangan website gereja untuk memberikan informasi mengenai kegiatan-kegiatan gereja, informasi yang lebih cepat dengan jangkauan yang lebih mudah diperoleh jemaat sepanjang terkoneksi dengan internet. Selain itu dengan adanya teknologi, gereja dapat mengembangkan media-media digital yang efektif untuk mengabarkan Injil dan memberitakan firman Tuhan untuk memperkuat pertumbuhan iman jemaat. Teknologi juga membuka peluang untuk mengembangkan tata cara ibadah yang lebih variatif dan inovatif dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang tersedia.[34]

Gereja juga diperhadapkan dengan tantangan perubahan perilaku masyarakat (jemaat), ada kecenderungan jemaat saat ini lebih mengharapkan sesuatu yang instan dan mengabaikan proses, lebih individual dengan hanya berfokus pada gadgetnya dan perilaku relasi yang sangat mekanistis. Santoso menggarisbawahi bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa dampak negatif seperti mengganggu jemaat saat beribadah/ bersekutu, membatasi komunikasi atau hubungan muka dengan muka sesungguhnya dan mengabaikan emosi saat beribadah.[35]

Bagi banyak warga masyarakat perubahan yang begitu cepat ini sering disertai lompatan yang cukup besar dan yang pada gilirannya menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian. Hal ini semakin memperhadapkan kita dengan tantangan-tantangan yang berat dan kompleks. Di tengah perkembangan ini pertanyaan pemazmur relevan kita renungkan: siapakah manusia di tengah ciptaanNya dan di tengah perkembangan tehnologi yang begitu dahsyat? Di era digital ini, gereja perlu mendampingi warganya mengembangkan etika menggunakan media sosial.[36]

 

Kesimpulan

Gereja ada di dalam dunia, tetapi tidak berasal dari dunia. Secara faktual gereja ada di dalam dunia, bersama-sama dengan dunia, bahkan nasib gereja juga ikut ditentukan oleh dunia di mana ia berada. Namun pada saat yang sama ia tidak berasal dari dunia melainkan dari Allah. Istilah ini dapat mengambarkan bagaimana gereja harus memberikan dampak atau respon terhadap perkembangan era Revolusi Industri Keempat. Gereja hadir di dunia ini di tengah perkembangan yang sangat pesat, era Revolusi Industri Keempat. Perkembangan ini tidak dapat dicegah oleh siapapun, termasuk gereja sendiri. Karena itu gereja harus memberikan sikap yang jelas. Secara umum sikap gereja dapat dikategorikan kepada menolak dan menerima dengan waspada.

Gereja dapat menerima atau bahkan harus menerima perkembangan yang ada dan memanfaatkannya untuk pekabaran Injil, keefektifan pelayanan peribadatan dan kemudahan kehidupan begereja. Dengan pesatnya perkembangan internet, gadget dan media sosial yang hampir dimiliki oleh setiap individu, termasuk warga gereja, maka tidak mungkin tidak gereja dapat memanfaatkannya untuk memberitakan firman Tuhan.

Di sisi lain kecanggihan teknologi tidak selamanya membawa dampak positif, tetapi juga dampak negatif. Sebenarnya kurang tepat apabila kita menyalahkan teknologinya, tetapi yang salah adalah orang yang menggunakannya. Pada dasarnya semua teknologi yang diciptakan itu adalah demi kebaikan dan demi membantu kemudahan pekerjaan manusia. Namun ada saja manusia atau oknum yang menyalahgunakan demi kepentingan pribadi dan merugikan orang lain. Saat ini sangat laris dipasaran berita bohong (hoax) dan kekerasan berbasis digital. Di samping itu ada kecenderungan keberdosaan dalam diri manusia, karena itu segala produk yang diciptakan akan selalu ada kelemahannya. Kecerdasan buatan yang dibuat oleh manusia itu sendiri, perlahan namun pasti menggeser eksistensi manusia dalam pekerjaan, sehingga akan semakin banyak pengangguran, belum lagi keburukan yang lain.

Menanggapi hal-hal tersebut gereja harus menyatakan sikap, yang pasti tidak ada tempat bagi dosa. Kesaksian iman dalam Wahyu 22 menyaksikan bahwa Allah lah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir (ayat 13). Dalam godaan yang begitu banyak di era disrupsi ini harus selalu dihayati keberimanan bahwa Allah adalah Alfa dan Omega. Segala kecanggihan dan keunggulan teknologi hanya bersifat sementara dan bahkan merongrongi kehidupan manusia, sehingga nyatalah era disrupsi. Gereja harus selalu waspada untuk tetap menjaga diri, karena itu gereja perlu mengadakan pelatihan-pelatihan yang sifatnya memboboti para warga gereja agar bijak bermedia sosial dan mendorong gereja agar dapat melakukan pemberitaan firman Tuhan dengan media di era Revolusi Industri Keempat. Amin.

 

Daftar Pustaka

Sumber Buku

Bagi Tuhan Jangan Ditunda: Teks Kehidupan Gereja di Sumba, Salatiga: Satya Wacana University Press, 2019.

Curtis, A. Kenneth, Lang, J. Stephen dan Petersen, Randy, 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, Jakarta: Gunung Mulia, 2016.

Dari Gunung Sitoli ke Waingapu: Catatan Perjalanan Pelayanan PGI 2014-2019, Jakarta: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 2019.

Draft/ Usulan Dokumen Keesaan Gereja 2019-2024 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, tidak diterbitkan.

Gereja Kristen Sumba Hadir dan Melayani: Sejarah, Tantangan dan Peluang Pelayanan, Jakarta: Gunung Mulia, 2019.

Himpunan Keputusan dan Notulen Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Jakarta: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 2019.

Kraybill, Donald B., Kerajaan yang Sungsang, Jakarta: Gunung Mulia, 2018.

McGrath, Alister E., Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta: Gunung Mulia, 2016.

Pratama, Hellen Chou, Cyber Smart Parenting, Bandung: Visi Anugerah Indonesia, 2012.

Savitri, Astrid, Revolusi Industri 4.0: Mengubah Tantangan Menjadi Peluang di Era Disrupsi 4.0, Yogyakarta: Genesis, 2019.

Tapscott, Don, Grown Up Digital: yang Muda yang Menngubah Dunia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013.

Warga Gereja Merespon Revolusi Media Sosial: Panduan Bermedia Sosial, Jakarta: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 2018.

Yewangoe, A. A., Allah Mengizinkan Manusia Mengalami Diri-Nya: Pengalaman dengan Allah dalam Konteks Indonesia yang Berpancasila, Jakarta: Gunung Mulia, 2018.

 

Sumber Jurnal

Banawiratma, J. B., Sepuluh Agenda Pembentukan Persekutuan Jemaat-jemaat Kontekstual dan Berteologi Kontekstual, dalam Setia Nomor 1/ Tahun 2002 Pustaka Missionalia Candraditya No. 7: Mengupayakan Kurikulum Teologi yang Kontekstual di Indonesia, Jakarta dan Maumere: Persetia dan Pustaka Missionalia Candraditya, 2002.

 

Sumber Bahan Seminar

Yewangoe, Andreas A., Bersama Seluruh Warga Bangsa Gereja Memperkokoh NKRI yang Demokratis, Adil dan Sejahtera Bagi Semua Ciptaan Berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, bahan seminar Sidang Raya XVII PGI.

Hutabarat Lebang, Henriette, Aku adalah Yang Awal dan Akhir (Wah. 22:13), bahan seminar Sidang Raya XVII PGI.

 

Sumber Internet

Disrupsi diakses dari KBBI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/disrupsihttps://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/disrupsi, pada 1 Desember 2019 pukul 17.45.

Yusuf, Dari Bonus Demografi, Digital Talent Scholarship, Hingga Palapa Ring, diakses dari https://www.kominfo.go.id/content/detail/16370/dar-bonus-demografi-digital-talent-scholarship-hingga-palapa-ring/0/artikel/, pada 1 Desember 2019 pukul 17.00.



[1] Astrid Savitri, Revolusi Industri 4.0: Mengubah Tantangan Menjadi Peluang di Era Disrupsi 4.0, (Yogyakarta: Genesis, 2019), 63-66.

[2] Ibid, v-vi.

[3] Astrid Savitri, Revolusi, 125-126.

[4] A. A. Yewangoe, Allah Mengizinkan Manusia Mengalami Diri-Nya: Pengalaman dengan Allah dalam Konteks Indonesia yang Berpancasila, (Jakarta: Gunung Mulia, 2018), 277-280.

[5] Warga Gereja Merespon Revolusi Media Sosial: Panduan Bermedia Sosial, (Jakarta: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 2018), ii.

[6] Astrid Savitri, Revolusi, 125-126.

[7] Ibid, 127-129.

[8] Astrid Savitri, Revolusi, 132-134.

[9] Ibid, 69-70.

[10] Ibid, 129-130.

[11] Warga Gereja, ii.

[12] Himpunan Keputusan dan Notulen Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, (Jakarta: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 2019), 47.

[13] Dari Gunung Sitoli ke Waingapu: Catatan Perjalanan Pelayanan PGI 2014-2019, (Jakarta: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 2019), 255.

[14] A. A. Yewangoe, Allah, 277-280.

[15] Himpunan, 62.

[16] Disrupsi = hal tercabut dari akarnya. Disrupsi diakses dari KBBI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/disrupsihttps://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/disrupsi, pada 1 Desember 2019 pukul 17.45.

[17] Gereja Kristen Sumba Hadir dan Melayani: Sejarah, Tantangan dan Peluang Pelayanan, (Jakarta: Gunung Mulia, 2019), 59-60.

[18] Lihat misalnya versi Don Tapscott, ia menyebutkan bahwa generasi terdiri dari:

-          The Baby Boom (1946-1964)

-          Generasi X-The Baby Bust (1965-1976)

-          Generasi Y-Milenial (1977-1997)

-          Generasi Z (1998-10 tahun)

Lihat lebih lengkap dalam Don Tapscott, Grown Up Digital: yang Muda yang Menngubah Dunia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), 18-25.

[19] Yustiwati Angu Bima, Teori Generasi Sebagai Upaya Peningkatan PAK dan PWG dalam Tinjauan Pendidikan Kristen-GKS di Era Milenial, dalam Bagi Tuhan Jangan Ditunda: Teks Kehidupan Gereja di Sumba, (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2019), 190-192.

[20] Gereja Kristen, 63.

[21] Hellen Chou Pratama,Cyber Smart Parenting, (Bandung: Visi Anugerah Indonesia, 2012), 34-35.

[22] Don Tapscott, Grown Up, 27-28.

[23] Yusuf, Dari Bonus Demografi, Digital Talent Scholarship, Hingga Palapa Ring, diakses dari https://www.kominfo.go.id/content/detail/16370/dar-bonus-demografi-digital-talent-scholarship-hingga-palapa-ring/0/artikel/, pada 1 Desember 2019 pukul 17.00.

[24] Gereja Kristen, 63-64.

[25] J. B. Banawiratma, Sepuluh Agenda Pembentukan Persekutuan Jemaat-jemaat Kontekstual dan Berteologi Kontekstual, dalam Setia Nomor 1/ Tahun 2002 Pustaka Missionalia Candraditya No. 7: Mengupayakan Kurikulum Teologi yang Kontekstual di Indonesia, (Jakarta dan Maumere: Persetia dan Pustaka Missionalia Candraditya, 2002), 34.

[26] Gereja Kristen, 59.

[27] Henriette Hutabarat Lebang, Aku adalah Yang Awal dan Akhir (Wah. 22:13), bahan seminar Sidang Raya XVII PGI.

[28] Andreas A. Yewangoe, Bersama Seluruh Warga Bangsa Gereja Memperkokoh NKRI yang Demokratis, Adil dan Sejahtera Bagi Semua Ciptaan Berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, bahan seminar Sidang Raya XVII PGI.

[29] Henriette Hutabarat Lebang, Aku adalah Yang Awal dan Akhir (Wah. 22:13), bahan seminar Sidang Raya XVII PGI.

[30] Donald B. Kraybill, Kerajaan yang Sungsang, (Jakarta: Gunung Mulia, 2018), x.

[31] Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta: Gunung Mulia, 2016), 15.

[32] A. Kenneth Curtis, J. Stephen Lang dan Randy Petersen, 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, (Jakarta: Gunung Mulia, 2016), 70.

[33] Draft/ Usulan Dokumen Keesaan Gereja 2019-2024 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, (tidak diterbitkan), 169-170.

[34] Gereja Kristen, 59-60.

[35] Ibid, 60-61.

[36] Himpunan, 175.

Posting Komentar

Posting Komentar