KHOTBAH MINGGU 9 JULI 2023
MENCINTAI HUKUM ALLAH
Roma 7:15-25
Minggu 5 Setelah Trinitatis
NAS
Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. Jadi jika aku perbuat apa yang tidak aku kehendaki, aku menyetujui, bahwa hukum Taurat itu baik. Kalau demikian bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku. Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku. Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku. Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? Syukur kepada Allah! Oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.
PENDAHULUAN
Pada dasarnya banyak orang tidak begitu menyukai hukum, karena hukum itu diangkap sesuatu yang tidak menyenangkan. Hukum dianggap sebagai sesuatu yang membuat kehidupan manusia jadi terasa terkekang. Walaupun pada dasarnya hukum itu dibuat untuk menciptakan keteraturan dan kebaikan.
Hukum juga tidak terdiri dari satu jenis saja, ada banyak hukum yang kita kenal saat ini, ada hukum dalam bernegara dan itu juga bermacam-macam adanya. Ada hukum dalam lembaga dan lain sebagainya. Jarang sekali ada orang yang mencintai hukum, umumnya itu sesuatu yang tidak disenangi.
Pada Khotbah Minggu ini kita akan belajar tentang Hukum Allah dan kita tidak hanya belajar, namun lebih dari situ, mencintai Hukum Allah. Bagaimana itu Hukum Allah dan bagaimana kita mencintainya? Untuk menjawab hal tersebut kita akan mengulasnya berdasarkan pengalaman iman Rasul Paulus sebagaimana ia tuliskan dalam Roma 7:15-25.
Paulus terkenal sebagai rasul yang begitu besar dan berdampak, banyak teologi yang kita hidupi saat ini berasal darinya dan banyak kitab-kitab di Perjanjian Baru yang merupakan karyanya. Ia juga seorang Yahudi yang begitu fasih dan begitu ketat dalam menjalankan Hukum Taurat, tentu pengalaman Paulus ini juga akan memberikan gambaran iman yang menarik bagi kita. Semoga kita dapat memahaminya dan mengajarkan kita agar mencintai Hukum Allah.
PEMBAHASAN
Rasul Paulus merupakan seorang rasul dan teolog yang sangat berpengaruh bahkan hingga saat ini. Padahal dahulu ia adalah seorang yang membenci Kristus dan para pengikutNya. Kebenciannya ini bukan tanpa dasar. Kebenciannya sesungguhnya dilandasi atas dasar kecintaannya pada Agama Yahudi dan Taurat Tuhan. Sementara ketika Yesus datang ke dunia ini dan mulai mengajar, banyak ajaran yang disampaikan oleh Yesus--dalam pandangan beberapa orang Yahudi dan para ahli Taurat--bertentangan dengan Taurat. Meski demikian Yesus tetap mendapatkan banyak pengikut karena Yesus menunjukkan kasih kepada banyak orang. Walau pada akhirnya Yesus disalibkan oleh sistem hukum Romawi karena tuntutan orang-orang Yahudi dan orang banyak. Bagi mereka kematian Yesus dipandang sebagai sebuah kemenangan. Tapi pada kenyataannya Yesus bangkit dari kematian pada hari yang ketiga dan menampakkan diri kepada para murid-muridNya.
Lalu sebagaimana Yesus telah berjanji pada murid-muridNya, bahwa Ia akan mengirimkan Roh Kudus kepada mereka, itu pun terjadi dan pada akhirnya memberikan kekuatan kepada para murid untuk memberitakan kebangkitan Yesus dan kabar keselamatan. Dengan penyertaan Roh Kudus mereka memberitakan keselamatan kepada setiap orang, bahkan ketika Petrus berkhotbah dan mendorong agar setiap yang mendengarkan bertobat dan memberi diri agar dibaptis, orang yang percaya bertambah kurang lebih tiga ribu orang banyaknya (lihat Kisah Para Rasul 2:41).
Dalam situasi yang demikian upaya untuk membasmi para pengikut Kristus terus berjalan. Seorang yang begitu getol untuk membinasakan jemaat adalah Saulus. Ia masuk ke rumah demi rumah dan menyeret laki-laki dan perempuan keluar dan menyerahkan mereka agar dipenjara (lihat Kisah Para Rasul 8:3).
Tindakan yang dilakukan oleh Paulus ini bukan tanpa dasar, justru ia melakukannya atas dasar kecintaannya kepada Hukum Taurat. Betapa tidak, dia adalah seorang Ibrani tulen (lihat 2 Korintus 11:22), seorang Yahudi yang berasal dari Tarsus (lihat Kisah Para Rasul 21:39; 22:3), seorang yang terpelajar ia sudah mengikuti pendidikan tentang Taurat sejak enam tahun, ia juga seorang rabi--semacam guru besar pada perguruan tinggi--dia juga seorang Farisi, golongan Yahudi yang begitu radikal dalam mempraktikkan Taurat, mereka bahkan menerjemahkannya sampai kepada yang terkecil agar dapat menerapkannya dalam segala aspek kehidupan mereka (lihat Filipi 3:4-5; Kisah Para Rasul 23:6). Bagi orang Yahudi dan Paulus sendiri, Yesus itu adalah orang yang berdosa, Ia melakukan kejahatan, Ia menyembuhkan pada hari Sabat dan itu berarti bekerja dan menentang hukum Taurat, oleh sebab itulah Yesus dianggap sebagai orang berdosa oleh orang Farisi dan para Ahli Taurat. Dengan semua yang telah Paulus pelajari dan yang diajarkan padanya dan yang diselidikinya, maka jelaslah Yesus merupakan hal yang sangat bertentangan dengan semua itu. Oleh sebab itu satu-satunya ambisi Paulus adalah menghapus segala ingatan tentang Yesus dari muka bumi ini dan membinasakan orang Kristen yang tersisa. Paulus sendiri mengakuinya bahwa betapa ia begitu kejam dalam memperlakukan para pengikut Kristus dan berusaha keras menghancurkannya (lihat Galatia 1:13 dan 23). Ketika Paulus melakukan penganiayaan itu ia sungguh-sungguh yakin bahwa ia melakukan kehendak Allah.
Paulus bisa dikatakan menjadi tokoh utama dalam pembinasaan segala apapun yang berkaitan dengan Kristus dan para pengikutNya. Ia tentu menyaksikan segala sesuatu aniaya yang ditumpahkan kepada para pengikut Kristus dan awalnya ia merasa itu adalah benar. Namun ia juga menyaksikan tingkah laku para pengikut Kristus yang dianiaya. Di mana-mana Paulus melihat bahwa mereka yang menanggung hukuman atas iman mereka mengikut Kristus, mereka menanggung hukuman itu dengan keberanian, ketabahan hati dan tenang dan sama sekali tidak goncang. Seperti Stefanus misalnya, bahkan ketika ia dijatuhi hukuman mati dengan dirajam dengan batu, ia justru tidak memiliki dendam dan malah berdoa agar dosa itu tidak ditanggungkan kepada mereka yang melakukannya. Dalam peristiwa ini Paulus hadir dan ia menyaksikannya, bahkan punya peranan penting atas pelaksanaan hukuman itu (lihat Kisah Para Rasul 7:8). Dalam hati Paulus muncul gejolak mengapa orang-orang ini begitu tabah menghadapi maut? Kalau Kristen itu jahat mengapa orang Kristen mau tabah mati dan sambil mengampuni? Sehingga muncul keragu-raguan dalam hatinya untuk menyelidiki tentang Kekristenan ini. Ia bergumul akan hal itu. Apakah mungkin Yesus itu yang benar dan aku yang salah? Ia bertanya-tanya dalam hatinya. Tentu berada dalam situasi yang demikian tidaklah menyenangkan.
Sampai kemudian ia bertemu dengan Yesus ketika menuju Damsyik--dengan niatan untuk menyiksa para pengikut Kristus--dalam wujud cahaya yang meliputi dia dan teman seperjalanannya. Mereka semua rebah ke tanah dan Saulus mendengar suara dalam bahasa Ibrani: "Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku? Sukar bagimu menendang ke galah rangsang." Paulus kemudian menjawab: "Siapa Engkau, Tuhan? Kata Tuhan: Akulah Yesus, yang kauaniaya itu" (lihat Kisah Para Rasul 26:14-15).
Yesus kemudian memanggilnya untuk menjadi pelayan dan saksi tentang segala sesuatu yang telah dilihatnya dari Yesus dan tentang apa yang akan diperlihatkan Yesus kepadanya. Ia diutus kepada bangsa-bangsa, untuk membuka mata mereka, supaya mereka berbalik dari kegelapan kepada terang dan dari kuasa Iblis kepada Allah, supaya mereka oleh iman kepada Yesus memperoleh pengampunan dosa dan mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang yang dikuduskan. Ia kemudian mula-mula memberitakan kepada orang-orang Yahudi di Damsyik, di Yerusalem dan di seluruh tanah Yudea, dan juga kepada bangsa-bangsa lain, bahwa mereka harus bertobat dan berbalik kepada Allah serta melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan pertobatan (lihat Kisah Para Rasul 26:16-18 dan 20). Paulus tinggal di Damsyik kurang lebih selama tiga tahun dan ia memberitakan Injil Kristus di rumah ibadat dan di jalan-jalan. Hingga akhirnya dia menjadi pemberita Injil ke banyak tempat dan banyak sekali mengajar dan menuliskan surat ajaran dan penguatan kepada para jemaat. Demikianlah Paulus seorang yang begitu ketat akan Hukum Taurat menjadi seorang pemberita Injil yang sangat besar.
Seperti yang sudah dikatakan bahwa ia adalah seorang yang begitu ketat dalam melakukan hukum Taurat bahkan seorang Farisi yang begitu radikal melakukan hukum Taurat. Ia kemudian menyadari bahwa ternyata ia beroleh keselamatan bukan karena melakukan Hukum Taurat, tetapi oleh karena kasih Kristus (lihat Efesus 2:8-9). Paulus menyadari bahwa Hukum Taurat itu bukanlah suatu pertolongan. Menurutnya Hukum Taurat justru suatu kutuk, dia merasa bahwa Hukum Taurat itu malah menyebabkan dosa.
1. Dosa yang menguasai diri (ayat 15-20).
Memang manusia memiliki Hukum Taurat dan Kesepuluh Firman dan kesemuanya itu mengajarkan kepada kita tentang apa yang harus kita lakukan. Akan tetapi ada kecenderungan dalam diri manusia, bahwa ketika ada hal yang dilarang, justru itulah yang dilakukan. Ada semacam sifat jahat dalam diri manusia yang mengakibatkan manusia ingin melakukan hal-hal yang dilarang.
Dalam dunia Psikologi kita mengenal yang namanya Evil Phsycology yang mengatakan bahwa dalam diri manusia itu ada dua sifat yang bekerja pada saat yang bersamaan. Seorang tokoh bernama Philip Zimbardo menanyakan tentang hal apakah yang membuat diri manusia itu menjadi jahat? Menurutnya ada tiga alasan yang membuat manusia itu menjadi jahat, yaitu watak, situasi dan sistem. Seperti yang sudah dikatakan bahwa dalam diri manusia itu ada dua sifat yang bekerja secara bersamaan dan ketika situasi-situasi yang tadi terjadi dalam diri manusia maka manusia itu dipaksa untuk memilih yang mana yang akan ia turuti, dan jika menuruti sifat yang buruk atau jahat, maka pastilah itu akan menjadi kebiasaan bagi manusia dan itu akan membentuk kepribadian seseorang. Pada kenyataannya manusia itu selalu ingin melakukan hal-hal yang dilarang. Seperti seekor sapi misalnya yang berada di ladang rumput yang subur, pasti masih akan tergoda dan merusak pagar yang ada untuk merasakan rumput di luar pagar itu.
Seperti itulah manusia adanya, sehingga Paulus berkata bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci. Paulus sebagai yang paham akan Hukum Taurat tahu akan hal yang baik dan yang jahat, sebab Hukum Taurat menggambarkannya dan mengajarkan kepada kita apa yang harusnya kita lakukan. Paulus juga menyadari bahwa apa yang diajarkan dalam Hukum Taurat itu adalah baik adanya dan ia menghendaki agar berbuat demikian, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, bukan yang ia kehendaki yang diperbuatnya, justru yang ia benci, yang dalam hal ini di luar Hukum Taurat. Di ayat 16 Paulus berkata jika saya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan keinginan saya (Taurat), artinya saya mengakui bahwa Hukum Taurat itu baik. Hal ini sama dengan keadaan kita manusia umumnya. Kita tahu akan segala aturan-aturan dan hukum dan kita mengakui bahwa segala aturan itu baik adanya, dan semua manusia pasti ingin melakukan hal yang baik yang sesuai dengan hukum. Kita pun sepaham bahwa aturan dan hukum itu baik adanya, tetapi yang terjadi justru sering sekali kita sendiri malah melakukan hal yang jauh dari hukum itu. Ketika kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan itu salah adanya, pasti akan selalu ada proses untuk memikirkannya, dan kita bisa mengukur, menilai dan menimbang bahwa apa yang kita lakukan itu salah tentu menggunakan kacamata aturan dan hukum, dengan sendirinya kita sudah mengakui bahwa hukum itu baik adanya. Sebab ketika kita mengontraskannya dengan apa yang kita lakukan, yang salah itu dan dalam hal ini aturan dan hukum itulah yang menjadi tolak ukur. Seperti itulah adanya pemikiran Paulus, ketika ia melakukan apa yang ia tidak kehendaki, ia menyadari bahwa Hukum Taurat itu baik adanya.
Selanjutnya Paulus berkata di ayat 17 bahwa jika demikian adanya itu berarti bukan dia lagi yang melakukannya, tetapi dosa yang ada dalam dirinya. Dalam hal ini agaknya ada pendikotomian yang terjadi dalam diri Paulus, yang dalam hal ini sebenarnya hanya dirinya sendiri. Sebab ada hal yang dia inginkan dan hal yang dia lakukan. Yang dia inginkan sesuatu yang baik tetapi yang dia lakukan malah sesuatu yang jahat. Itu berarti ada sesuatu yang mengendalikannya, di luar kontrol dirinya. Paulus menyebutnya dosa. Pemahaman Paulus tentang dosa ini sangat menarik. William Barclay dalam bukunya Duta Bagi Kristus: Kehidupan dan Pengajaran Paulus menyebutkan dan menjabarkan pemahaman Paulus tentang dosa. Ia berkata bahwa dosa menurut Paulus itu ada lima. Pertama, sesuatu yang tidak mengenai sasaran. Dosa ialah gagal menjadi apa diri kita yang seharusnya dan untuk apa kita diciptakan. Kedua, melangkahi garis batas. Ada semacam garis batas antara yang benar dan salah, tetapi kita dengan sengaja melangkahi garis batas itu. Itu juga disebut dosa. Melangkahi garis yang membatasi yang benar dan salah. Ketiga, tergelincir. Tergelincir ini artinya semacam tindakan yang tidak begitu disengaja tetapi dilakukan, yaitu melangkahi garis batas. Ini terjadi karena kurang hati-hati dalam memijak tempat yang licin, sehingga jatuh. Keempat, melanggar hukum. Ini adalah tindakan yang disengaja dan tidak mempedulikan hukum. Kita tahu apa yang baik dan benar, tetapi kita tidak melakukannya, itu adalah salah. Kelima, hutang yang tidak dibayar. Artinya kita punya hutang kepada Allah, tapi kita tidak membayarnya. Allah telah berbuat banyak hal dalam hidup manusia, sehingga kita wajib memberikan kesetiaan dan kasih kita dan ketaatan kita kepadaNya, tapi kita tidak melakukannya, itu juga adalah dosa.
Pemahaman Paulus ini sangat menarik untuk kita refleksikan, sebab memang pastilah demikian adanya. Kita semua juga adalah orang berdosa dan jika menganalisa menurut pemahaman Paulus tadi, maka pastilah di antara kita tidak ada yang tidak pernah melakukannya. Anggaplah kita berbuat baik dan berkomitmen untuk melakukan yang baik sesuai dengan kehendak Tuhan, tapi memang ada kalanya kita itu tergelincir secara tidak sengaja berbuat dosa. Jika kita mengukurnya dari kaca mata Hukum Taurat yang sangat banyak itu, maka pastilah tidak ada di antara kita yang dapat melakukannya. Jadi memang benar adanya bahwa dosa itu telah berkuasa atas diri kita.
Di ayat 18-20 Paulus kembali mengulangi tentang dikotomi yang terjadi dalam dirinya. Seolah memang Paulus ingin menegaskan bahwa hidupnya itu memang didera oleh dilematis yang sangat mendalam, tentang apa yang ia inginkan dan ia lakukan. Ia sampai mengatakan dalam dirinya sebagai manusia tidak ada sesuatu yang baik. Dikotomi ini juga jelas nampak dalam ayat 26, ia berkata bahwa dengan akal budiku aku melayani hukum Allah, tetapi dengan tubuh insaniku (daging) aku melayani hukum dosa. William Barclay menjelaskan bahwa dalam perspektif orang Yunani bahwa ketika seseorang dilahirkan ada dua roh diberikan kepadanya, roh yang mendorong untuk berbuat baik dan roh yang mendorong untuk berbuat jahat dan bagaimana adanya hidupnya tergantung pada ajakan yang mana yang hendak diturutinya. Ia juga menyebutkan bahwa orang Yahudi berpendapat bahwa dalam diri setiap manusia ada dua sifat. Sifat baik yang berusaha mendorong manusia supaya memilih jalan yang baik dan ada juga sifat yang jahat yang selalu berusaha supaya manusia itu mengambil jalan yang salah. Itulah yang dimaksudkan oleh Paulus ketika ia mengatakan tubuh insani/ daging. Tubuh insani kita inilah yang menjadi tempat yang begitu nyaman untuk menanggapi bujukan dosa yang membuat kita ingin melakukan yang salah.
Seperti yang telah dikatakan bahwa manusia itu harus memilih menuruti yang baik atau jahat. Sama seperti Evil Psychology tadi jika sesuatu yang jahat dalam diri manusia itu dibiasakan dan dipilih untuk dihidupi, maka akan seperti itulah kepribadiannya. Olehnya yang jahat itu memang harus dihindari dan harus lebih sering membiasakan yang baik. Sama halnya dengan dosa, andai saja kita dapat membuang bagian yang ingin berbuat salah, maka kita tidak berdosa. Akan tetapi pada kenyataannya kita tidak dapat membuangnya dengan kekuatan kita sendiri. Kita membutuhkan obat, untuk menyembuhkan penyakit itu dan obat itu kita dapat dari Allah.
2. Suka akan Hukum Allah (ayat 21-23).
Seperti yang sudah dikatakan bahwa manusia telah melanggar perintah Allah dan melakukan yang berlawanan dengan kehendakNya. Oleh sebab itu kita menjadi terpisahkan dengan Allah. Ada semacam tembok yang menjadi pembatas antara kita dengan Allah. Allah begitu mengasihi manusia, tetapi sebaliknya manusia menyimpang dari Allah dan tidak mengasihi Allah. Sehingga ada semacam pemisah antara kita dengan Allah. Akan selalu ada perasaan tidak nyaman dan gelisah ketika kita berada di dekatNya sebelum kita diampuni. Seperti yang sudah dikatakan juga bahwa kita tidak dapat melepaskan diri kita sendiri, kita akan selalu tunduk ke dalam kedagingan dosa. Maka untuk menghilangkan pemisah itulah dan untuk menyelamatkan kita sehingga Yesus datang ke dunia ini (lihat Yohanes 3:16).
Lagi-lagi Paulus menegaskan bahwa pada dasarnya ia (batinnya) suka akan hukum Allah (bandingkan Mazmur 119:1-176) dan Yesaya 58:2). Ia bahkan menyampaikan kontras antara Hukum Allah yang ia sukai dengan hukum dosa yang terus menundukkannya. Jadi semakin jelas sesuai dengan tema kita pada Minggu ini bahwa pada dasarnya kita harus suka akan Hukum Allah seperti Paulus. Suka akan Hukum Allah artinya menyelidikinya dan memahaminya dan berusaha untuk melaksanakannya. Akan tetap kita juga harus menyadari bahwa di saat yang sama, kita juga akan selalu tunduk kepada dosa, itu berjalan secara bersamaan. Di satu sisi kita suka akan Hukum Allah, namun pada saat yang sama kita juga tunduk pada dosa dan justru melakukan hal yang bertentangan dengan Hukum Allah (ayat 23). Seperti yang sudah dikatakan bahwa kita tidak akan sanggup untuk melakukannya. Sudah pasti kita akan sama seperti Paulus akan mengalami kebuntuan bukan? Jadi kalau begitu kita harus bagaimana? Itulah sebabnya Paulus berkata bahwa "Aku ini manusia celaka!" (ayat 24).
William Barclay mengatakan bahwa kegelisahan ini menyelimuti hatinya pada awal-awal ketika ia baru bertobat. Paulus selalu bergumul pada waktu awal-awal ia bertobat, ia merasa bahwa betapa pun kerasnya dia berusaha, dia tidak dapat menjalani hidup menurut keyakinan yang seharusnya dia jalani. Paulus dalam hal ini bukan dalam rangka menyaksikan keadaan rohaninya sekarang saat ia menuliskan surat ini, namun ia ingin menunjukkannya kepada banyak orang Kristen yang sudah lahir baru dan masih terus kalah melawan dosa. Paulus sedang berbicara kepada orang Kristen yang sudah dibarui Kristus namun kurang menyadari dan bertindak konsisten dengan kebenaran anugerah Injil Kristus. Maksud Tuhan menebus kita bukan agar sekadar diampuni, namun jatuh bangun terus dalam dosa. Ia ingin kita agar hidup sepenuhnya menikmati hidup dalam Yesus Kristus, bukan seperti Kristen yang sebagian masih berprinsip terhadap Taurat dalam kondisi perbudakan seperti yang sudah dijelaskan di atas akan tetapi merdeka penuh.
Namun apakah itu artinya bahwa Dasa Firman itu tidak berarti lagi? Padahal kita sering melafalkannya dan dalam ibadah kita juga itu menjadi bagian dari liturgi (agenda). Dalam liturgi HKI, itu biasanya ditempatkan sebelum pengakuan dosa dan pemberitaan firman. Dalam bukunya Unsur-unsur Liturgia, Abineno mengutip pendapat Micron bahwa Dasa Firman di sini berarti sebagai cermin, yang menyatakan kepada kita "betapa besar dan betapa seringnya kita telah menjadikan Tuhan Allah murka atas dosa-dosa kita." Sehingga dapat kita katakan bahwa hukum itu tidak serta merta hilang, namun memiliki pemaknaan yang baru, yaitu sebagai cermin, apakah yang kita lakukan sudah sesuai dengan hukum Allah atau tidak. Seperti yang sudah disebutkan tadi bahwa pertobatan kita juga harus berusaha hidup dalam kasih Kristus, jangan terus menerus jatuh bangun dalam dosa.
3. Syukur kepada Allah (ayat 24-25).
Di ayat 25 Paulus memberikan jawaban atas kegelisahannya itu. Ketika ia menanyakan siapakah yang akan melepaskan aku? Ia menjawab bahwa ia dilepaskan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita dan ia mengucap syukur kepada Allah atas hal itu. Kegelisahan yang begitu panjang yang menyelimuti hatinya akan keselamatannya, kegelisahan akan kesadaran bahwa ia tidak mampu untuk melakukan Hukum Taurat dengan sempurna sebab ia pada saat yang sama akan selalu jatuh ke dalam dosa. Yang menjadi jawaban atas semua kegelisahan kita adalah Yesus, Tuhan kita. Melalui ini kita diingatkan bahwa upaya manusia sama sekali tidak mengerjakan apa-apa, karena manusia itu akan selalu jatuh ke dalam dosa. Kita diingatkan bahwa segala sesuatunya adalah karena kemurahan Allah kepada kita. Kita patut bersyukur dan merasa lega karena ada jawaban atas kegelisahan Paulus yang dalam hal ini menjadi kegelisahan kita juga. Bayangkan saja amang/inang ketika dikatakan bahwa semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah (lihat Roma 3:23-26) dan seperti yang kita tahu bahwa upah dosa adalah maut (lihat Roma 6:23) dan melalui nas khotbah kita juga kita disadarkan bahwa upaya manusia sama sekali tidak mengerjakan apa-apa untuk keselamatannya, pastilah kita akan kehilangan harapan dan sama seperti Paulus menyadari bahwa kita adalah manusia celaka. Tapi syukurlah amang/inang bahwa Allah telah mengutus Yesus untuk menyelamatkan kita semua dari keadaan yang sangat sulit ini. Jadi sama seperti Paulus yang mengucap syukur akan hal ini, kita juga patut mengucap syukur.
Namun dalam hal ini amang/inang ada sedikit tambahan. Bukan berarti ketika dikatakan bahwa upaya manusia tidak mengerjakan apa-apa untuk keselamatan, maka lantas kita bisa berbuat dosa atau jatuh bangun dalam dosa sebebasnya dengan dalih bahwa kasih karunia Allah begitu besar kepada manusia. Paulus menjawab hal ini dalam Roma 6 tentang bangkit dan mati dengan Kristus. Di ayat 1 dia berkata bahwa bukan berarti kita boleh bertekun dalam dosa dengan dalih supaya bertambah kasih karunia. Ia berkata tidaklah boleh demikian. Alasannya adalah karena kita orang yang percaya menjadi satu dengan kematianNya dan sama dengan kebangkitanNya. Di ayat 6-7 Paulus berkata bahwa siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa dan jika kita telah mati dengan Kristus, kita percaya bahwa kita juga akan hidup dengan Dia. Maka dosa telah mati dan tidak mendapat tempat lagi, maka kita juga harus hidup dengan Dia.
KESIMPULAN DAN REFLEKSI
Pada Minggu ini kita memasuki Minggu ke-5 Setelah Trinitatis dan kita disapa oleh firman Tuhan dengan tema "Mencintai Hukum Allah." Apakah yang dapat menjadi refleksi bagi kita amang/inang:
1. Mencintai Hukum Allah. Mencintai hukum Allah kita belajar dari Paulus dalam diri dan batinnya yang mencintai Hukum Allah. Ia seorang yang mahir dalam Hukum Taurat sehingga ia pasti memahaminya dengan baik. Oleh sebab itulah kita juga harus berusaha untuk meneladaninya, mencintai Hukum Allah dengan mempelajarinya dan menghidupinya dalam kehidupan kita.
2. Bagaimana Mencintai Hukum Allah? Saat ini bukanlah hal yang sulit lagi bagi kita untuk menjangkau firman Tuhan, telah tersedia dalam berbagai media, baik cetak maupun digital, hanya tinggal apakah kita memang mau untuk mendalaminya. Ada ungkapan yang mengatakan "tak kenal maka tak sayang." Maka kita juga didorong untuk mengenal Hukum Allah itu. Kalau kita tidak mengenalNya bagaimana pula kita mencintainya? Maka kita perlu untuk mendalaminya dan menghidupinya. Itulah tandanya kita mencintai Hukum Allah.
3. Bukan karena kekuatan dan kemampuan kita. Tapi kita diingatkan juga amang/inang bahwa kekuatan kita tidak akan mungkin sanggup untuk melakukannya, sebab tubuh kita ini masih tunduk kepada dosa. Karenanya kita harus bersandar kepada Yesus yang menjadi jawaban atas pergumulan kita akan keselamatan kita dari dosa. Pada minggu-minggu sebelumnya, Minggu pertama setelah Trinitatis, kita diingatkan bahwa Allah telah mengaruniakan Roh Kudus untuk tinggal bersama dengan kita, karena itu mari kita meminta bantua dariNya dan bersandar padaNya agar kita dimampukan untuk mencintai dan melakukan Hukum Allah.
4. Terpujilah Allah. Akhirnya kita harus tetap memuji Tuhan, seperti yang dilakukan oleh Paulus karena kesadaran bahwa Yesuslah yang menjadi jawaban atas pergumulan kita itu. Kita tidak berdaya tanpa Yesus, karena itu sudah sepatutnya kita mengucap syukur kepadaNya atas karyaNya dalam hidup kita yang memberikan kelepasan kepada kita dan kelegaan akan pergumulan kita. Kiranya Ia senantiasa menyertai kita dalam menjalani hidup kita agar senantiasa menghidupi kematian dan kebangkitanNya dalam kehidupan kita. Amin. (tps)
Posting Komentar