Ada satu buku yang menarik bagi saya, tulisan Donald B. Kraybill dengan judul "Kerajaan yang Sungsang" terbitan BPK Gunung Mulia. Saya membeli buku tersebut ketika saya mahasiswa di STT Abdi Sabda Medan sekitar tahun 2018 lalu. Meskipun saya belum tuntas membacanya, namun buku itu cukup berkesan bagi saya, karena menunjukkan konsep-konsep pemikiran yang berbeda dengan dunia secara umum berdasarkan ajaran-ajaran Yesus. Kita jarang mendengar kata sungsang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata sungsang diartikan terbalik (yang di atas menjadi di bawah, yang di depan menjadi di belakang, kepala di bawah kaki di atas, dan sebagainya).
Dalam buku yang telah disebutkan di atas Kraybill menyebutkan bahwa Yesus dalam ajaran-Nya sering sekali menunjukkan nilai-nilai yang justru terbalik dengan nilai-nilai yang dianggap baik dan wajar di dunia ini. Pada kenyataannya dalam kisah-kisah pengajaran Yesus dalam Injil, banyak ajaran, perumpamaan dan tindakan Yesus yang menunjukkan keadaan yang sungsang ini. Kita bisa melihat dari perkataan-perkataan Yesus, misalnya yang terkecil dialah yang terbesar (lihat Lukas 9:48), pemimpin menjadi hamba (lihat Markus 10:44), yang berdosa justru yang dicintai (lihat Markus 2:17) dan yang lainnya. Dalam kaca mata manusia hal-hal tersebut tentu sulit diterima, karena hal-hal itu tidak biasa bagi kita, bahkan membuat kita jadi bertanya-tanya, bagaimana mungkin bisa seperti itu?
Namun justru seperti itulah kenyataan pengajaran yang disampaikan oleh Yesus. Banyak hal yang selama ini dianggap manusia sebagai suatu kewajaran dan kebiasaan-kebiasaan yang normal, ternyata perlu diperbaiki. Pemahaman-pemahaman yang keliru itu juga dilatarbelakangi oleh kejatuhan manusia ke dalam dosa, sehingga manusia banyak melakukan praktik-praktik yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Yesus datang ke dunia ini untuk menebus dosa-dosa manusia dan untuk memberitakan bahwa kerajaan sorga sudah dekat. Manusia tidak bisa membebaskan dirinya sendiri dari dosa, namun Tuhan tidak ingin manusia mati dalam dosanya, sehingga Ia menganugerahkan keselamatan bagi manusia lewat pengorbanan Anak-Nya Yesus Kristus dan manusia tidak dapat memahami Tuhan dengan utuh, sehingga harus ada yang memperkenalkan Allah dan diri-Nya kepada manusia, dan itu semua diwujudnyatakan dalam Yesus.
Kehadiran Yesus di dunia bersama para murid-murid-Nya dengan sendirinya tidak hanya membarui kehidupan rohani tapi juga kehidupan manusia secara keseluruhan. Karena kedua hal itu tidak terpisahkan. Jika kehidupan secara rohani dibarui maka keseluruhan hidup juga dibarui.
Nas renungan kita hari ini menunjukkan hal itu. Ketika Yakobus dan Yohanes menyampaikan permintaannya kepada Yesus (lihat Markus 10:35-45). Mereka meminta agar diperkenankan duduk di kemuliaan Yesus kelak. Pemahaman mereka terhadap kerajaan yang disampaikan oleh Yesus itu masih bersifat politis duniawi. Dan secara duniawi memang andai kita juga di posisi Yakobus dan Yohanes pasti kita juga akan meminta agar kita diperhitungkan dalam kemuliaan Yesus. Yesus kemudian menanyakan kesanggupan mereka meminum cawan yang harus diminum oleh Yesus dan dibaptis dengan baptisan yang harus diterima oleh Yesus (ayat 38-39). Yang dimaksudkan oleh Yesus dalam hal ini bahwa untuk sampai di kemuliaan itu tidaklah mudah, ada beban yang harus dipikul, dan Yesus membuktikan-Nya dengan pengorbanan-Nya di kayu salib. Kemuliaan itu tidak diperoleh secara cuma-cuma, tapi ada proses yang harus ditempuh. Yesus menunjukkan bahwa konsep manusia tentang kemuliaan tidaklah sama dengan konsep kemuliaan kerajaan Allah. Manusia memahami bahwa konsep kemuliaan itu seperti konsep kerajaan duniawi (itulah sebabnya Yohanes dan Yakobus meminta satu di sebelah kiri dan satu di sebelah kanan (ayat 37)), namun Yesus menunjukkan bahwa kemuliaan itu merupakan kemuliaan kerajaan sorga di mana terdapat kehidupan bersama Bapa.
Yesus menambahkan lagi, memang setiap pengikut Kristus akan meminum cawan yang harus diminum oleh Yesus, namun soal ketentuan siapa kelak yang bisa duduk di sebelah kanan atau kiri-Nya bukanlah hak Yesus untuk memberinya, tapi hal itu akan diberikan bagi mereka yang sudah disediakan.
Mendengar hal itu kesepuluh murid lainnya jadi marah kepada Yakobus dan Yohanes (ayat 41). Berdasarkan tafsiran Matthew Henry disebutkan bahwa mereka marah kepada Yakobus dan Yohanes karena mereka juga menginginkan tempat utama. Mereka marah bukan karena sulitnya menjadi murid Kristus, tetapi karena mereka masing-masing juga berharap untuk memiliki tempat utama itu. Jadi, dalam kejengkelan murid-murid itu terhadap ambisi Yakobus dan Yohanes, ketahuanlah juga ambisi pribadi mereka.
Yesus kemudian memberikan pemahaman baru atas kekeliruan mereka. Yesus mengingatkan agar mereka jangan mengikuti pemahaman dan kewajaran yang selama ini berlaku. Ia mengingatkan agar para murid-Nya mau merendahkan diri dan jangan seperti pemimpin-pemimpin dunia yang memerintah dengan tangan besi (ayat 42). Mereka diingatkan agar mau merendahkan diri untuk melayani dan meninggalkan ambisi-ambisi pribadi. Siapa yang mau jadi tuan, ia harus jadi hamba, siapa ingin jadi besar harus jadi pelayan. Yesus membuat diri-Nya sendiri sebagai contoh. Yesus berkata, bahkan Anak Manusia datang ke dunia ini bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (ayat 45). Yesus menjadikan diri-Nya sendiri sebagai contoh, walaupun Ia Anak Allah, yang sebenarnya bisa meminta kuasa kepada Allah untuk berbuat sesuatu yang ajaib, Ia mau merendahkan diri mengambil rupa hamba. Pesan Yesus ini menjadi pengingat bagi kita tentang motivasi kita dalam melayani Tuhan. Motivasi melayani bukan untuk keuntungan diri sendiri, tapi harus dengan rendah hati menunjukkan kasih Kristus.
Saat ini banyak kita temui motivasi pelayanan yang cenderung keliru di tengah-tengah pelayanan di gereja. Para pelayan juga sudah cenderung ingin dilayani, padahal mereka harus melayani, mengambil sikap rendah hati dan menunjukkan bahwa Kristus pun mau merendahkan diri. Kita diingatkan agar menghidupi pelayanan yang melayani bukan untuk dilayani. Pelayanan yang kita lakukan jangan sekali-kali untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri, tapi harus dilakukan dengan motivasi untuk kemuliaan Tuhan.
Tidak hanya di dalam gereja, tapi dalam hidup sehari-hari pun sebenarnya kita harus menunjukkan sikap melayani. Kita semua dipanggil untuk melayani. Sebagai manusia biasa kita pasti ingin dihormati dan disanjung oleh orang lain, sehingga kita bisa saja menggunakan cara-cara dunia untuk memperolehnya. Sebagai orang-orang yang percaya, motivasi kita dalam melayani perlu diperbaiki, jangan untuk keuntungan diri sendiri tapi untuk menunjukkan teladan kasih Kristus kepada banyak orang. Mari kita menghidupi spirit pelayanan Yesus, melayani bukan untuk dilayani. Amin. (tps)
Posting Komentar