wvsOdYmDaT9SQhoksZrPLG0gYqduIOCNl12L9d9t
Bookmark

Khotbah Minggu 23 Februari 2025 - Matius 5 ayat 38-48

Khotbah-Minggu-23-Februari-2025-Matius-5-ayat-38-48-Mengasihi-Musuh

Khotbah Minggu 23 Februari 2025 Minggu Sexagesima tertulis dalam Kitab Matius 5 ayat 38 - 48. Mari kita perdalam pemahaman kita terhadap Perikop Khotbah ini. Sesuai dengan Almanak Gereja kita yang menjadi tema Khotbah adalah "Mengasihi Musuh." Mari kita ikuti pembahasannya. 

Pendahuluan 

Manusia secara alami cenderung mencintai orang-orang yang disukai. Ini bisa karena ada sesuatu dalam diri orang lain yang menarik perhatian, yang atas dorongan itu menjalin persahabatan dan keakraban. Mungkin saja hal itu karena adanya ikatan alami, seperti antara orang tua dan anak atau karena kita memiliki minat dan hobi yang sama, sehingga tercipta kedekatan. Bisa juga perasaan cinta, itu muncul karena kehadiran orang-orang di sekitar membuat hari-hari kita lebih cerah, memberi rasa nyaman, bahkan melengkapi hidup kita. Cinta, dalam berbagai bentuknya, sering kali hanyalah variasi dari rasa suka ini. Itulah jenis cinta yang dipahami dunia. Namun dalam khotbah  ini, kita akan merenungkan cinta yang tidak berasal dari dan tidak dimengerti oleh dunia ini. Itulah cinta ilahi. Apa yang dapat kita kenal dan pahami tentang cinta ilahi ini? Biarlah Roh Kudus, melalui ajaran Yesus seperti dalam Matius 5:38-48 ini, menanamkan cinta ilahi itu dalam hati kita. 


Advertisement - Scroll untuk terus membaca postingan.

Pembahasan 

Kasih Bapa kepada Kita Saat Kita Masih Musuh-Nya 

Yesus dalam teks Matius 5:38-48 menjelaskan tentang cinta yang melampaui apa yang dunia pahami, cinta yang tidak berasal dari dunia. Cinta tersebut adalah penerimaan yang tidak terbatas kepada siapa saja, bahkan terhadap orang-orang yang tidak kita sukai sekalipun. Yesus berkata, Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu, supaya kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga (Matius 5:44-45). Sebelum kita mendiskusikan lebih lanjut tentang cinta ilahi itu, kita bisa sejenak memperhatikan dan merenungkan apa yang Yesus katakan dalam frasa Bapamu yang di surga (Matius 5:45). Kata kata ini memiliki makna yang sangat dalam. Bukankah kita sering mengucapkannya ketika berdoa Bapa kami yang di surga? Siapakah Bapa kita yang di sorga ini? Mengapa kita dilayakkan untuk memanggilnya sebagai Bapa? Apa yang istimewa dari kesempatan yang diberikan untuk memanggil Allah itu sebagai Bapa kita? 

Ini dapat kita pahami dengan baik jika kita mulai menyadari siapa kita ketika memanggil Allah, sebagai Bapa kita. Coba kita bayangkan bagaimana perasaan kita jika seseorang yang memiliki reputasi buruk, kotor dan menjijikkan datang ke rumah, mengetuk pintu dan berkata, "hai kawan, ayo berkegiatan!" Kita bisa saja merasa marah dan tersinggung. Bagaimana mungkin orang tersebut berani mengetuk pintu rumah kita dan berpikir bahwa kita adalah temannya? Sekarang, mari kita bayangkan perasaan Allah yang kudus dan sempurna ketika kita, yang penuh dosa dan ketidaksempurnaan, datang kepada-Nya dan memanggil-Nya dengan sebutan yang akrab, "Bapa." Bagaimana mungkin kita, yang begitu cemar oleh dosa, berani menyapa Tuhan yang kudus dan memanggil-Nya sebagai Bapa? Di sinilah kita sering gagal menyadari betapa buruknya dosa kita. Sulit bagi kita untuk menyadari bau busuk dosa kita sendiri. Seandainya kita menganggap bahwa kita tidak seburuk itu, kita perlu waspada karena bisa saja kita sedang meremehkan dosa kita sendiri. 



Sebenarnya kita penuh dengan dosa, yang antara lain, yaitu pemberontakan melawan Tuhan, pikiran kita (keinginan daging) terus berseteru (bermusuhan) dengan kehendak Allah (Roma 8:7). Kita sering terdorong untuk merebut bagian Allah (kemuliaan yang untuk Allah saja), bahkan menghina (menyepelekan) nama-Nya yang kudus. Sebenarnya tidak ada apa pun dalam diri kita yang layak disukai Tuhan. Segala sesuatu tentang kita menjijikkan di hadapan kekudusan-Nya Mazmur 5:5 dengan jelas menyatakan bahwa Tuhan membenci semua yang berbuat salah, tidak ada pengecualian. Dosa tetaplah dosa, kecil maupun besar, itu sama-sama dosa dan berarti pelanggaran terhadap perintah Tuhan. 

Jika kita kembali ke teks ini, kita perlu meneliti seberapa banyak kesalahan yang telah kita lakukan. Lalu apa hak kita untuk memanggil-Nya Bapa? Apa dasarnya sehingga kita dengan yakin memanggil Allah itu Bapa kita? Terkadang, kita mencoba menjembatani jurang ini dengan pemikiran bahwa pasti ada sesuatu dalam diri kita yang layak dicintai oleh Allah, meskipun kecil. Namun, itu hanyalah ilusi. Sebaiknya kita orang Kristen jangan tertipu oleh gagasan palsu ini. Jawaban mengapa Tuhan adalah Bapa kita tidak terletak pada apa pun yang bisa kita tawarkan. Jawaban yang sesungguhnya adalah dalam cinta Tuhan yang melampaui segala hal, yaitu dalam cinta yang tidak terbatas. 



Tuhan yang benar dan kudus membenci dosa dan mengutuk orang berdosa. Namun, di tengah keadilan-Nya, Dia begitu mengasihi dunia ini, termasuk anda, saya bahkan dunia ini, sehingga Dia memberikan Anak-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan kita (Yohanes 3:16). Siapa pun yang percaya kepada-Nya tidak akan binasa, melainkan memiliki hidup yang kekal. Itulah cinta yang melampaui apa yang dunia ini dapat lakukan. Cinta yang mengasihi mereka yang tidak layak dicintai. 

Rasul Paulus, mengatakan ini dengan sempurna, Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa (Roma 5:6-8). Inilah cinta yang melampaui dunia yang menjadikan kita anak-anak Bapa surgawi melalui iman kepada Yesus Kristus. 

Saat Yesus mengingatkan kita untuk menyebut Bapa kami yang di surga, Ia mengingatkan kita akan kasih yang turun dari surga hingga pengorbanan di kayu salib, demi kita, musuh-musuh-Nya. Kasih itu mendamaikan kita dengan Tuhan, mengubah kita dari musuh menjadi anak-anak yang dikasihi-Nya. Paulus melanjutkan dalam Roma 5:10, Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan olen hidup-Nya. 

Setiap kali kita melihat matahari terbit, setiap kali hujan turun menyuburkan tanah, kita diajak untuk mengingat kasih Bapa. Kasih yang bahkan dicurahkan kepada mereka yang masih membenci-Nya. Dia menerbitkan matahari-Nya bagi yang baik dan yang jahat, dan menurunkan hujan bagi yang benar dan yang tidak benar (Matius 5:45). Inilah kasih yang memberikan Anak-Nya yang tunggal bagi kita, kasih yang membawa kita kepada iman kepada Yesus sebagai Juruselamat dari dosa dan kematian. Melalui iman ini, kita dapat dengan penuh keyakinan berseru, Bapaku, betapa besarnya kasihMu yang melampaui apa yang dunia ini dapat berikan.


Mengasihi Orang Lain Bahkan Saat Mereka Masih Musuh Kita 

Sebagai orang Kristen kita terus bergumul menghadapi kemarahan bahkan keinginan balas dendam. Memang hal ini sangat sulit dan berisiko. Itu sebabnya Yesus mengajarkan dan menunjukkan keteladanan ketika menghadapi ketidakadilan. Lebih baik mengalami ketidakadilan dari pada membiarkan hati dikuasai oleh keinginan untuk membalas. Dia mengajarkan bahwa lebih baik membiarkan seseorang menampar kedua pipi kita daripada menyimpan dendam di hati. Lebih baik memberikan bahkan lebih dari apa yang kita miliki, dari pada kita menyimpan kebencian. Lebih baik melakukan lebih dari apa yang orang paksakan kepada kita dari pada membiarkan hati kita dipenuhi dendam. Sebab, ketika hati kita penuh dengan balas dendam, berapa banyak ruang yang tersisa bagi kasih Allah untuk mengisi hidup kita lagi? Ajaran ini sesungguhnya bukanlah hal baru. Kitab Imamat sudah menyatakannya. Janganlah engkau menuntut balas dan janganlah menaruh dendam (Imamat 19:18). Tuhan sendiri berkata dalam Ulangan, hakKulah dendam dan pembalasan (Ulangan 32:35). Dendam adalah hak Allah dan hanya Ia saja yang bisa menuntut itu. 

Apa yang Yesus maksudkan dalam pengajaran ini? Yesus di sini tidak sedang menuntut suatu penerapan yang kaku, melainkan sebuah perubahan hati. Memberikan pipi, berjalan satu mil ekstra dan memberi ketika ada yang meminta, merupakan nasihat untuk melakukan segala sesuatu dengan kejujuran dan kebijaksanaan. Pertama, kita harus jujur dengan diri sendiri. Apa sebenarnya motivasi kita dalam memperlakukan orang lain? Apakah karena balas dendam atau karena kasih? Selanjutnya, kebijaksanaan akan menuntun kita untuk mengasihi dengan tulus, seperti yang tertulis dalam 1 Korintus 13:6, kasih tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi bersukacita karena kebenaran. Dalam hal ini, kasih yang kita tunjukkan kepada seteru, bukanlah persetujuan atas kesalahan mereka. Dalam Keluaran 23:4-5, kita diajarkan untuk membantu bahkan keledai musuh yang tersesat. Yesus memperjelas perintah ini, kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (Matius 5:44). Mengapa Allah menunjukkan kebaikan kepada orang jahat? Sesungguhnya ini semua karena Ia ingin mereka bertobat (Yehezkiel 33:11). Yesus tidak ingin seorang pun binasa, melainkan berbalik kepada Allah (2 Petrus 3:9). Kebaikan dan kasih Allah dalam penjelasan teks ini, itulah yang menuntun kita pada pertobatan (Roma 2:4). 

Kasih yang kita tunjukkan kepada musuh harus memiliki tujuan yang sama. Kita tidak menoleransi dosa, tetapi kita berdoa agar mereka bertobat (kembali ke jalan kasih karunia Allah). Dengan kasih, kesabaran dan belas kasih, kita berharap mereka mengenal kasih Bapa. Alangkah indahnya jika kita bisa menjadikan tujuan hidup kita untuk memancarkan kasih Allah, bahkan kepada musuh kita, agar mereka juga bisa merasakan kasih yang luar biasa ini. Seperti saat di mana kita pernah merasakan kasih Allah selagi kita masih menjadi musuh-Nya, sekarang, saatnya kita merenungkan kasih seperti itu dan menunjukkan kasih yang sama kepada orang-orang di sekitar kita. 

Dalam Matius 5:38-48, Yesus mengajarkan kita untuk melampaui keadilan yang biasa dipahami dunia. Seruan mata ganti mata dan gigi ganti gigi adalah hukum lama yang memfasilitasi balas dendam, tetapi Yesus dalam pengajaran yang baru, datang membawa pengajaran yang jauh lebih dalam. Dia tidak menolak keadilan, tetapi memperkenalkan kasih yang radikal, kasih yang mengatasi rasa sakit, kebencian dan balas dendam.


Menjadi Sempurna Seperti Bapa 

Itulah kasih yang sempurna. Dalam Matius 5:48, Yesus memberikan perintah yang tampaknya sangat menantang. Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna. Ungkapan sempurna di sini sering kali menimbulkan pertanyaan tentang apakah manusia benar-benar bisa mencapai kesempumaan seperti Allah. Untuk memahami maksud dari perintah ini, kita harus menafsirkan kata "teleios" dalam konteks yang lebih luas. Kata "teleios" dalam bahasa Yunani tidak semata-mata merujuk pada kesempurnaan moral atau kebebasan dari kesalahan, tetapi lebih kepada kedewasaan, keutuhan atau integritas yang mencakup semua aspek kehidupan seseorang. Dalam konteks ini, kesempurnaan yang dimaksud bukanlah suatu kondisi tanpa cacat, melainkan suatu keadaan di mana kasih dan pengampunan mencerminkan kasih Allah yang menyeluruh dan tanpa syarat. Ayat ini mengakhiri serangkaian pengajaran tentang bagaimana seharusnya kita berinteraksi dengan orang lain, terutama mereka yang mungkin menyakiti atau memusuhi kita. 

Yesus menantang murid-murid-Nya untuk mengasihi, bukan hanya kepada orang yang mengasihi mereka, tetapi juga kepada musuh. Hal ini sangat berbeda dari standar manusia yang cenderung membalas dan menyimpan dendam. Dengan demikian, kasih yang sempurna menurut Yesus adalah kasih yang melampaui batas-batas hubungan pribadi dan keluarga, bahkan merangkul mereka yang berada di luar lingkaran sosial kita atau yang bertindak tidak adil terhadap kita. Panggilan untuk menjadi sempurna seperti Bapa adalah undangan untuk menghidupi prinsip-prinsip kasih Allah yang melampaui pemikiran dan konsep manusia. Allah tidak hanya menunjukkan kasih kepada orang-orang yang layak, tetapi juga kepada mereka yang tersesat, bahkan kepada mereka yang memusuhi Dia. Allah memancarkan kasih secara universal. Kesempurnaan yang diajarkan oleh Yesus adalah untuk meneladani kasih ini, kasih yang tidak bersyarat, yang tidak memilih-milih dan yang menuntut kita untuk selalu memprioritaskan kebaikan. Dengan demikian, menjadi sempurna bukan berarti menjadi tanpa dosa atau kesalahan, tetapi berarti bertumbuh dalam kasih yang holistik dan inklusif, sebagaimana Allah adalah kasih yang sempurna. Ini adalah panggilan yang terus menerus bagi setiap murid Kristus untuk menjadi cerminan dari karakter Allah dalam kehidupan sehari-hari. 

Yesus berkata dengan memberikan nasihat, teladan seperti memberi pipi yang lain saat ditampar. Ini bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan yang lahir dari kasih dan pengampunan. Yesus mengundang kita untuk tidak terjebak dalam lingkaran kebencian. Dalam kasih, kita menemukan kekuatan untuk melepaskan hak kita dan memberi sesuatu yang lebih besar, yaitu belas kasih kepada mereka yang menyakiti kita. Lebih lanjut, Yesus mengajarkan untuk mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita. Pernahkah kita berpikir, mengapa kita narus mendoakan mereka yang melukai kita? Karena dalam doa, hati kita dilunakkan dan dipulihkan. Kasih yang sejati tidak membedakan antara teman dan musuh, seperti Bapa di surga yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan yang baik (Matius 5:45). 

Yesus memanggil kita untuk menjadi sempurna seperti Bapa di surga, yaitu sempurna dalam kasih. Ini bukan panggilan untuk kesempurnaan moral yang mustahil dicapai, tetapi untuk kasih yang tanpa batas. Kasih yang tidak menuntut balasan, kasih yang siap berkorban. Ketika kita mencintai seperti ini, kita mencerminkan gambar Allah yang hidup dalam diri kita. Bagaimana kita bisa menerapkan ini dalam kehidupan sehari-hari? Kasih radikal yang diajarkan Yesus bukan hanya dalam tindakan besar, tetapi juga dalam hal-hal kecil, bersabar dalam menghadapi orang-orang yang menyebalkan, tidak membalas dengan kebencian saat kita difitnah dan terus mengulurkan tangan bagi mereka yang menolak kita. 


Advertisement - Scroll untuk terus membaca postingan.

Kesimpulan dan Refleksi 

Yesus menunjukkan bahwa jalan kasih adalah jalan yang sulit tetapi penuh berkat. Ini adalah jalan yang memanggil kita untuk keluar dari kenyamanan, meninggalkan kebencian dan memilih untuk mengasihi tanpa syarat. Inilah yang membuat kita berbeda, yaitu yang membuat kita menjadi terang dan garam dunia. Kasih Yesus tidak hanya menaklukkan dosa, tetapi juga mengubah dunia. Tuhan Memberkati. Amin. 


Catatan: 
Semua iklan yang terdapat pada website dan tulisan ini tidak ada hubungannya dengan timothysaragi.com. 

Dapatkan update artikel terbaru dari timothysaragi.com. Mari bergabung di Channel WhatsApp atau "timothysaragi.com Artikel Update", caranya klik link https://whatsapp.com/channel/0029VapB7ASBVJlBihjSSW2q, kemudian join. Atau di Channel Telegram, caranya klik link https://t.me/timothysaragicomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. 


Posting Komentar

Posting Komentar