Khotbah Minggu 2 Maret 2025 Minggu Estomihi tertulis dalam Kitab Keluaran 34 ayat 29 - 35. Mari kita perdalam pemahaman kita terhadap Perikop Khotbah ini. Sesuai dengan Almanak Gereja kita yang menjadi tema Khotbah adalah "Menyatakan Cahaya Kemuliaan Tuhan." Mari kita ikuti pembahasannya.
Pendahuluan
Estomihi artinya jadilah bagiku gunung batu tempat perlindungan (Mazmur 31:3b) yang dinyanyikan sebelum memasuki masa prapaskah. Minggu Estomihi menunjuk pada titik peralihan dari perjalanan Yesus di Galilea kepada perjalananNya ke Yerusalem yakni perjalanan menuju salib. Yang menjadi penekanan dalam Minggu Estomihi adalah hubungan manusia dengan Allah. Allahlah yang mau mendengarkan keluh kesah manusia serta la menyerahkan nyawaNya demi kebaikan anak-anakNya yang berada dalam penderitaan. Beberapa hal diuraikan dalam Minggu Estomihi:
- Allah lah yang menjadi tempat penyerahan diri jemaatNya.
- Allah yang penuh dengan kemuliaan dan kuasa yang menyelamatkan anak-anakNya.
- Manusia yang penuh dengan kekhawatiran karena pergumulan hidup akan kehilangan harapan dan tidak ada dalam kedamaian.
- Dikarenakan manusia hidup dalam kekhawatiran serta tidak memiliki pegangan hidup akan menjadikan manusia semakih jauh dari Allah.
Jadi poin utama dalam Minggu Estomihi adalah Allah lah satu-satunya menjadi tempat penyerahan diri manusia karena Dialah Sang Pemilik Kuasa dan Kemuliaan. Dia mampu menjawab seluruh pergumulan hidup manusia yang berserah kepadaNya.
Pembahasan
Dalam Keluaran 32:1-34:35 nampak dua tradisi yang bercampur di dalamnya, yaitu tradisi Elohista dan tradisi Yahwista. Hampir tidak mungkin memisahkan kedua tradisi tersebut. Tetapi dalam penggabungan kedua tradisi itu terjadilah bahwa perjanjian yang diikat Tuhan dengan Israel menurut tradisi Yahwista (kisahnya tercantum dalam Keluaran 34) tampil sebagai pembaruan perjanjian yang diikat Tuhan dengan Israel menurut tradisi Elohista (ceritanya tercantum dalam Keluaran 24). Perjanjian ini dianggap dibatalkan oleh pemberontakan bangsa Israel yang menyembah anak lembu emas (Keluaran 32:1-33:23). Cerita tentang anak lembu emas disisipkan di antara kedua tradisi tersebut, supaya dua-duanya dapat dipertahankan.
Perjumpaan Musa dengan Tuhan menghasilkan dampak perubahan secara rohani. Musa berjumpa secara pribadi dengan Tuhan di gunung Sinai selama 40 hari lamanya. Selama itu ia juga berpuasa. Dampak dari perjumpaan itu adalah terpancarnya cahaya kemuliaan Tuhan di wajahnya. Namun tidak hanya berhenti di situ, Musa pun diubahkan Tuhan dalam perilaku hidup sehari-hari. la yang dulu dikenal rendah diri dan penakut, kini memiliki keberanian besar untuk menyampaikan perjanjian dan hukum-hukum Tuhan kepada umat Israel untuk ditaati. Jika dulu ia harus diwakili oleh Harun sebagai juru bicaranya, kini Musa sendirilah yang menjadi perantara Allah dengan umatNya. Musa sendiri tidak menyadarinya. Ia tidak tahu, bahwa kulit mukanya bercahaya (ayat 29).
Harun dan orang-orang Israel melihat wajah Musa dan takut (ayat 30). Kebenarannya ditegaskan oleh banyak sekali saksi, yang juga sadar akan kengeriannya. Wajah Musa yang bersinar itu tidak hanya menyilaukan mata mereka, tetapi juga menghentakkan kegentaran yang begitu rupa pada diri mereka hingga mereka harus mundur. Mungkin mereka ragu apakah itu tanda dari perkenanan Allah atau murka-Nya.
Musa menyelubungi mukanya, ketika ia menyadari bahwa wajahnya bersinar (ayat 33, 35). Pertama, ini mengajarkan kepada kita kesopanan dan kerendahan hati. Kedua, hal ini mengajarkan hamba-hamba Tuhan untuk menyesuaikan diri dengan kemampuan jemaat dan berkhotbah, sebagaimana mereka mampu menerimanya. Ketiga, selubung melambangkan kegelapan dari masa penyelenggaraan Hukum Taurat.
Ketika Musa masuk menghadap TUHAN, untuk berbicara dengan Dia dalam Kemah Pertemuan, ditanggalkannyalah selubung itu (ayat 34). Pada momen itu selubung tidak diperlukan, di hadapan Allah, semua orang tampil tanpa selubung. Sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di hadapanNya.
Kesimpulan dan Refleksi
Saudara/I dalam nama Tuhan Yesus Kristus cahaya dunia, marilah kita bercahaya. Mari membuka selubung yang ada pada kita, bukan selubung muka, tetapi refleksi dan praktiknya dengan membuka selubung hati dan pikiran kita masing-masing. Selubung dalam bentuk kesombongan, kemarahan, iri hati, kebencian, dendam, hedonisme dan sebagainya yang kerap membatasi bahkan menutup hati dan pikiran kita dari terang kemuliaan kasih-kuasa Allah, dan dari kehidupan bersama tetangga dan sesama manusia. Mari, dengan iman dan pengharapan serta kasih, bukalah selubung hati dan pikiran kita, agar kemuliaan-Nya selalu bercahaya melalui kata dan perbuatan nyata sehari-hari, kemuliaan Allah bagi sesama manusia dan bagi semua kehidupan. Amin.
Posting Komentar